Sabtu, 31 Oktober 2015

THE MIMPI - Cerpen VI : Ari Sucianto Siregar

Aku tidak tahu? Dan Aku benar-benar heran!? Kenapa tiba-tiba saja, Aku sudah berada tepat di depan sebuah cermin yang cukup besar. Bahkan lebih besar dan lebih tinggi dari tubuhku yang sudah terlihat menua dengan rambut 75%-nya memutih, badan 15 derajat membungkuk dan garis-garis wajah mengeriput. ”Apakah ini diriku? Oh Tuhan! Aku benar-benar sudah sangat tua!”_Dalam kebingungan antara mimpi atau bukan, seorang gadis remaja yang cantik berjilbab putih datang dan menarik tanganku.
”Ayah!” katanya.
”Siapa kamu?” tanyaku dengan luapan ketidak-percayaan, kenapa aku dipanggil ayah olehnya.
”Uh! Ayah ini benar-benar sudah pikun! Aku Fathi, ayah”
”Fathi, Fathimah!”
”Iya, Fathimah!”
“Kau kan belum lahir nak?”
(Gadis remaja itu tertawa) ”Benar kata Cibun, ayahku sudah pikun stadium satu!”
”Terserah apa katamu, yang jelas setahuku Fathimah atau Fathi anakku masih dalam kandungan, masih butuh waktu kurang-lebih dua bulan lagi untuk dilahirkan, dan aku benar-benar tahu itu, karena surat cek kandungannya masih ada padaku, ini dalam saku jaketku!”_sambil ku rogoh-rogoh saku jaketku, tapi tidak aku temukan surat cek kandungan itu, bahkan uang sisa beli bensin saat mengantarkan istriku cek kandungan ke dokter Harun-pun tidak ada dalam sakuku. Aku garuk-garuk kepala ”Aku ada dimana ini? Dan ini tahun berapa?”
(Gadis remaja itu tersenyum, dia pegang kedua tanganku) ”Ayah, 19 tahun yang telah berlalu, aku memang masih dalam kandungan, tapi saat ini aku sudah dilahirkan dan tumbuh menjadi gadis remaja. Lihat wajahku, miripkan sama Cibun?”
”Iya, benar, kamu mirip sekali dengan istriku! Tapi?”
”Tapi apa?”
”Tidak! Tidak mungkin! Perasaanku kamu masih dalam kandungan istriku!”
(Lalu gadis remaja itu membawaku ke dalam sebuah kamar yang dipenuhi dengan foto-foto keluarga) ”Lihat ayah, itu fotoku saat aku baru saja dilahirkan, dan itu foto saat aku berumur satu tahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun, lima tahun, enam tahun, tujuh tahun, delapan tahun, sembilan tahun, sepuluh tahun, sebelas tahun, dua belas tahun, tiga belas tahun, empat belas, lima belas, enam belas dan yang satu itu saat aku, cibun dan ayah merayakan hari ulang tahunku yang ke-17 di Paris, bersama keluarga besar kita”
(Aku makin bingung!!!) ”Uang dari mana, aku bisa pergi ke Paris? Cicilan motor aja belum lunas!...”

***

Tidak lama kemudian, gadis remaja itu menarik tanganku dan membawaku ke sebuah ruangan yang sangat lebar, di ruang itu terdapat sebuah meja makan yang sangat panjang dan saking panjangnya makanan yang berada di ujung meja itu tidak terlihat jelas olehku. ”Itu ayam bakar!” di depan meja makan aku terpesona oleh banyaknya makanan yang dihidangkan, ada sayur asem lengkap dengan sambalnya, ikan asin, ikan gurame, ikan patin, ikan lele, ikan tongkol, ikan bandeng, ikan emas dan semua jenis ikan, terkecuali ikan paus! Di situ juga banyak sekali aku temukan jenis-jenis masakan dari berbagai daerah, pastinya apa yang aku inginkan ada disitu, terkecuali daging kambing. Karena aku tidak suka daging kambing.
”Siapa yang menghidangkan ini semua?” kataku.
”Cibun, ayah, semua itu yang masak cibun ayah, lihatlah dari semua masakan Nusantara yang ada, tidak satupun ayah temukan masakan yang bahan bakunya dari daging kambing, karena hanya cibun yang tahu kalau ayah tidak suka dengan daging kambing, makanya selama ini cibun tidak pernah masak daging kambing apalagi ikan paus!”
”Hah! kamu bisa tahu apa yang aku ucapkan tadi, padahal aku hanya mengucapkannya dalam hati saja tanpa sedikitpun bersuara?” tanyaku terheran-heran karena gadis remaja itu bisa tahu kalau aku mengatakan (terkecuali ikan paus!) dalam hati tanpa suara dan dia juga tahu kalau aku masih bingung, kenapa aku bisa pergi ke Paris.
”Kenapa kamu bisa tahu apa yang ada di hatiku dan pikiranku?” kataku.
”Karena aku darah-dagingmu. Jujur aku tidak mendengar dan juga tidak melihat apa yang ada di dalam hatimu dan pikiranmu ayah, tapi aku bisa merasakan semua apa yang ada dihatimu dan pikiranmu, aku bisa tahu semua itu karena aku bisa merasakan apa yang ayah rasakan. Dan ayah pastinya sudah tahu karena yang namanya perasaan itu bisa lebih tajam dari melihat dan mendengar, aku pernah membaca tulisan ayah yang mengatakan bahwa sesungguhnya hati itu bisa menembus ruang dan waktu, bisa menjelajahi semua dimensi yang ada dan sanggup menyelami semua rasa untuk mempersatukan dari banyaknya perbedaan yang tercipta. Sama seperti saat pertama kali ayah dan cibun bertemu dan lalu menyatu. Dulu cibun pernah mengatakan kepadaku, bahwa cibun memilih ayah bukan karena keteguhan ayah dalam mengejar cibun, apalagi melihat dan mendengar tentang ayah, tapi karena cibun merasakan dengan hati bahwa ayah adalah pria yang baik dan bertanggung jawab. Meskipun saat itu banyak orang-orang yang meragukan keberadaan ayah, karena ayah hadir dengan keberadaan yang seadanya terjadi tanpa polesan rambut kelimis, sedikit agamis, kata-kata manis dan sikap melankonis, tapi dengan dompet tipis, badan bau amis dan muka rusak abis!
(Aku tertawa kecil) ”Sekarang dimana, istriku? Aku tiba-tiba saja kangen dan segera ingin bertemu”
”Kenapa harus dicari ayah? Karena dari tadi cibun selalu ada disampingmu ayah”
”Apa? Mana?”
”Itu!” gadis remaja itu memberikan isyarat dengan jari telunjuknya.
”Mana?” kataku lagi sambil ku putar-putarkan badanku.
”MasyaAllah, itu ayah!”
”Mana?” tanyaku lagi.
”Stop! Pejamkan matamu ayah, dan rasakan dengan hati kehadirannya”
(Aku ikuti perintah gadis remaja itu, aku diamkan sikapku, pejamkan mataku dan aku terawang hatiku) ”Subhanallah! Ada kumpulan cahaya disampingku” kataku yang takjub dengan apa yang sedang terjadi disampingku.
”Teruslah selami hatimu ayah”
”Baiklah...”
”Teruslah selami hatimu ayah”
”Ok!”
”Teruslah selami hatimu ayah”
(Aku diam saja)
”Teruslah selami hatimu ayah”
”Iya, cerewet!” kataku kesal.
”Teruslah selami hatimu ayah”
”Gimana, aku mau konsentrasi, kalau kamu terus saja bicara!”
”Teruslah selami hatimu ayah”
”Sekarang aku baru percaya kalau kamu benar-benar anakku!”
”Kenapa?”
”Karena kamu sama persis seperti istriku!”
”Apanya?”
”Cerewetnya!”
(Dan lalu gadis remaja itu tidak bersuara lagi)

***

2,5 menit kemudian...
Aku merasakan kumpulan cahaya itu berputar-putar pelan, membawa suara angin yang bersemeriwing, makin pelan suaranya, makin terkumpul pula cahayanya dan lalu membentuk sosok tubuh yang sangat sejuk aku rasakan kehadirannya.
”Bukalah matamu ayah” kata gadis remaja itu dengan lemah-lembut kepadaku.
(Aku ikuti perintahnya) ”Istriku?!” kataku setelah aku buka kedua mataku.
”Kenapa, kamu terkejut melihatku?” kata istriku yang tiba-tiba saja sudah ada tepat disampingku.
”Tidak mungkin!” kataku.
”Tidak mungkin apa?”
”Tidak mungkin kamu secantik ini!”
”Maksudmu, kalau dulu aku jelek!” istriku kesal matanya melotot.
”Bukan itu maksudku!”
”Lalu apa?!” (Kedua tangan istriku mengepal dan siap memukul)
(Aku mundur tiga langkah kebelakang) ”Maksudku, kecantikanmu semakin bertambah dan aku semakin tua! Aku hanya terheran-heran saja, melihat kecantikanmu yang sangat luar biasa dihadapanku”
”Ah, masa?” istriku tersenyum kemayu, matanya genit melihatku.
”SAMBAL GOSONG! (Sumpah Mati Bolak-balik Aku Ga Bohong!) kamu makin cantik, makin menarik” kataku yang tidak percaya dengan keadaan ini. ” Kalau kamu tidak percaya, tanyakan saja kepada Fathi anakmu”
(Fathi mengangguk-anggukkan kepalanya tanda sepakat dengan pernyataanku)
”Istriku, wajahmu sungguh luar biasa!” kataku yang menghampirinya sambil mengelus-elus pipinya dengan tangan kananku. ”Aku benar-benar takjub melihatmu hari ini, ternyata semakin lama aku amati, kamu semakin cantik istriku. Di belahan bibirmu tidak berbeda seperti dulu, tipis dan sangat menarik, apalagi senyummu CABE INDRAMAYU, bagiku.
”Apalagi tuh?” tanya istriku malu-malu.
”Cantik Bersinar Indah Kemayu!”
”Sungguh!”
”Sungguh! SUMPAH SAMBAR GELEDEK! MATI KEBELEK! BADAN SOBEK-SOBEK! GA MELEK-MELEK! DIPATOK-PATOK BEBEK! Jika aku berbohong!
(Istriku tertawa!)
”Aku benar-benar tidak percaya keadaan ini, kenapa kamu terlihat semakin cantik dan aku terlihat semakin tua?”
(Istriku masih dengan sikapnya, tersenyum tanpa suara, dan lalu gadis remaja itu kembali menghampiriku)
”Ayah” katanya disela-sela senyum manis istriku dan rasa takjubku. ”Rasa ikhlaslah yang membuat cibun semakin cantik dan terlihat tetap muda”
(Aku terdiam beberapa menit, mencoba mencari maksud dan tujuan perkataan anakku tadi)
”Kenapa ayah?” tanya anakku.
(Aku masih saja diam)
”Ayah kenapa?” tanya anakku kembali.
”Ini tidak adil!” jawabku.
”Tidak adil kenapa, ayah?”
”Iya, karena selama ini aku merasa jalani hidup selalu dengan rasa ikhlas, tapi kenapa? Aku tetap saja terlihat tua”
”Ayah dalam kata ikhlas itu tidak ada ucapan (Tapi) dan atau (Kenapa)”
”Maksudmu?”
”Karena jika masih ada kata (Tapi) dan atau (Kenapa) itu sama saja ayah menggerutu”
”Wajarlah kalau ayah menggerutu, karena selama ini, pekerjaan ayah di luar jauh lebih berat, penuh dengan resiko dan tanggung jawabnya jauh lebih besar jika dibandingkan dengan pekerjaan cibun, pekerjaan cibun hanya datang ke sekolah dan lalu mengajar, setelah itu pulang”
”Justru pekerjaan cibun-lah yang jauh lebih besar dan jauh lebih luas tanggung jawabnya dari pada pekerjaan ayah di kantor. Jika ayah melakukan kesalahan di kantor yang kena imbasnya hanya perusahaan tempat ayah bekerja, tapi kalau cibun? Bukan hanya sekolah yang kena imbasnya tapi juga masa depan bangsa ini, karena cibun adalah seorang guru yang tanggung jawabnya bukan hanya untuk sekolah tempat cibun mengajar saja, tapi juga masa depan anak-anak didiknya, sebagai pewaris dan penerus bangsa ini. Ayah mau kalau bangsa ini menjadi bangsa yang lemah?”
”Tidak!”
”Ya sudah, kalau begitu jangan menggerutu”
”Sudah itu saja?” tanyaku.
”Masih ada lagi”
”Apa?”
”Selama sembilan bulan cibun mengandungku, dan itu bukan perkara yang mudah, kerena cibun harus menahan rasa mual saat aku masih berumur tiga bulan dalam kandungan, kaki bengkak-bengkak karena harus berjalan dengan berat badan yang makin bertambah dan saat melahirkan aku cibun harus bertarung antara hidup dan mati”
”Terus apa lagi?”
”Masih banyak lagi?”
”Apalagi?”
”Cibun setiap hari harus belanja, memasak, beres-beres rumah, mencuci, menjemur pakaian, menyeterika pakaian, mengatur keuangan keluarga, mengurus aku, menyiapkan pakaian sekolah aku, menyiapkan pakaian kerja ayah, menyiapkan sarapan, makan siang, makan malam, menemani aku belajar dan bertanggung jawab penuh terhadap harta-benda keluarga”
“Sudah?” tanyaku lagi.
“Belum?”
“Belum?????”
“Iya, belum, karena masih ada lagi”
”Apalagi?”
”Siap menerima protes dari ayah, jika ada masakan cibun yang kurang berminat di hati ayah”
”Sudah?”
”Belum!”
”Hah! Ada lagi?????”
”Kaget?” tanya anakku.
”Sedikit” kataku dengan malu-malu.
(Suasana hening sejenak dan lalu)
”Ok! Teruskan” kataku.
”Cibun harus selalu berpenampilan cantik di hadapan ayah, cibun harus berdandan dan memakai minyak wangi”
”Ah! Tidak perlulah berdandan apalagi repot-repot pakai minyak wangi”
”Kalau begitu, ayah siap-siap saja mencium bau asam jawa dari ketiak cibun! Mau?”
”NO!” jawabku.
”Memangnya kerja seharian di rumah itu tidak cape apa? Ayah mah enak, habis mimpin sholat subuh, langsung tidur, jam tujuh bangun, mandi, sarapan pagi dan sudah itu baru berangkat kerja, pulang dari kerja sudah ada makanan, untuk mandi sudah disiapkan, habis mandi, langsung makan malam, nonton tv, baca koran kompas, terus tidur pulas. Bagaimana ayah, masih mau protes?”
”Ga!” kataku sambil garuk-garuk kepala.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba saja semua yang kulihat tidak ada lagi, semua menjadi sunyi, anakku Fathi berjalan pergi, istriku menghilang ditelan sepi. Dan!? Aku terbangun, ternyata semua ini hanya sebuah mimpi. ”Sudah jam empat pagi?”. Aku garuk-garuk kepala lagi.
”Istriku maafkan aku...” ku cium kening istriku yang masih tertidur pulas disampingku.

By: Suciyanto Ari Siregar, untuk anak dan istriku!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar