Sabtu, 31 Oktober 2015

LAKI-LAKI PENJARING MATAHARI - Cerpen VIII : Ari Sucianto Siregar


“Kesepian itu tidak selamanya identik dengan kesendirian…”

Ini tentang seorang laki-laki yang menjaring matahari, yang setiap pagi harus siap berlari, berlari menjaring matahari, matahari yang selalu berkomitmen dalam bersikap, bersikap untuk tetap setia pada porosnya, menjaga terang 
untuk selalu tetap benderang. ”Ayo jaring matahari! Lupakan yang terjadi!” kata suara hati yang selalu dihantui sepi. 

Ini bukan yang pertama kali, ini sudah yang ribuan kali, mengusir sepi dengan menjaring matahari. 

Sungguh Tuhan tidak pernah salah dalam menciptakan kondisi makhluk-Nya, hanya kadang makhluk-Nya yang memper-Tuhan-kan pikirannya sendiri, sehingga Tuhan yang sebenarnya menjadi seakan tak memiliki kekuatan yang dapat dipercaya untuk mengubah sesuatu terkecuali pikirannya sendiri. Memang benar pikiran diciptakan untuk memecahkan masalah, tapi bukan menjadi Tuhan bagi manusia. Pikiran hanya sebuah sarana untuk memfasilitasi suara hati dan suara hati adalah penyaring pikiran dalam pengambilan sebuah keputusan. 

”Maka kendalikan pikiran dengan hati, supaya penyesalan tidak menjadi pilihan!” 

Sang laki-laki yang menjaring matahari itu-pun berhenti di 42 kilometer, saat matahari menenggelamkan tubuhnya diperbatasan kota hujan. Pada hamparan lepas
 pancaran cahaya bola mata langit yang berwarna jingga dan lalu menghitam gelap.

Keputusannya di hari-hari yang telah berlalu membuatnya menjadi penjaring matahari yang harus terus berlari, berlari untuk menghilangkan rasa sepi, rasa yang dipilihnya sendiri, yang membuat si pujaan hati pergi. Sampai tidak diketemukan lagi kata ”seandainya” ketika semuanya sudah berlalu. “Buat apa bersedih? Lebih baik berlari! Dan lalu tertawa!” kata laki-laki si penjaring matahari yang sadar akan keterbatasannya sebagai manusia yang tidak bisa mengembalikan waktu, apalagi menghentikannya. 

Menertawakan nasib yang diciptakannya sendiri itu lebih baik dari pada menyesali apa yang sudah terjadi, meskipun saat tertawa proses berpikir manusia terhenti, tapi mungkin itu bisa menjadi lebih baik? Karena mencari senang bukan pada akal, tapi pada pengendalian hati. 

Si laki-laki penjaring matahari larut dalam sepi, sebab malam hanya timbulkan bulan yang cahayanya mirip dengan wajah si pujaan hati. Ia ingin sekali berlari dan lalu tertawa 
seperti orang gila, agar luka dalam hati bisa berhenti, tapi sayang, malam bukan waktunya untuk berlari. Dan, ia harus menahan perih itu sampai malam berganti pagi. 

Tidak tahan dalam rutinitas menjaring matahari, ia pergi mengumpulkan awan-awan yang terbentuk dari butiran-butiran air penyesalan, yang menguap ditarik panasnya matahari dan lalu terkumpul menjadi satu membentuk hujan, hujan yang melahirkan banyaknya harapan. 
Harapan untuk menjadi dirinya kembali. Seperti saat, sebelum ia mengenal si pujaan hati. 

Tapi sayang, cinta tetaplah cinta, yang sejatinya sulit untuk dimengerti
? 
Stasiun Pocin (Pondok Cina), 11 November 2007 ”Dalam sebuah gerbong kereta, indah namamu 
terpaksa kupendam dalam-dalam” 

Menulis setelah bertemu teman

MANTAN KEKASIH - Cerpen VII : Ari Sucianto Siregar

Dari sebuah catatan ringkas...

Mantan kekasih, yang berwajah manis, maafkan aku. Aku antarkan kau pulang bukan lantaran aku masih punya hati dan cinta padamu seperti dulu, tapi karena aku tak sampai hati, biarkan wanita berjalan sendiri disepi-sepi tanpa ditemani.

Mantan kekasih, yang berwajah manis, maafkan aku. Aku tak bisa ikuti kata hatimu dan biarkan semua seperti ini adanya. Pilihan hati yang kau ambil dihari kemarin adalah sebuah kebenaran yang aku sahkan keadaannya, meskipun ku akui, pengesahan itu sempat menyakitkan hati. Tapi sudahlah, saat ini bukanlah hari kemarin dan biarkanlah yang telah tertulis menjadi lembaran yang tertata manis, seperti senyummu yang sempat ku jadikan lagu.

Mantan kekasih, aku tak bisa lagi kembali kepadamu dan menjadi aku yang dulu. Ini lantaran bukan karena aku tak punya hati lagi untuk bisa merasakan setip kesedihanmu. Tapi karena aku sebagai laki-laki sudah terlanjur jauh menikmati indahnya sebuah janji, pada perempuan yang telah merubah jalan pikiranku, menjadi seperti yang kau lihat saat ini.

Mantan kekasih, yang berwajah manis. Sudahlah jangan kau simpan lagi kata-kata menyesal dan merasa bersalah itu dihatimu! Bukankah hidup ini berjalan dengan cara memilih? Dan juga butuh yang namanya penyadaran bahwa setiap manusia punya hak untuk memilih? Jadi kau tak salah jika hari kemarin kau jatuhkan pilihanmu ke laki-laki itu (Seorang dokter muda, dari anak seorang pengusaha mebel). Dan tentunya bukan aku, seorang mahasiswa kiri yang haram untuk bisa kau cintai: (kata kedua orang tuamu dengan segenap keluarga besarmu yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama yang kau punya).

Bagiku hari kemarin adalah pembelajaran yang sangat amat bagus bagiku, karena dari situlah aku jadi tahu bagaimana aku harus berperan sebagai seorang laki-laki yang punya cinta dan hati. Yang tidak hanya mengandalkan kata setia, tapi juga jaminan hidup dimasa depan. Aku banyak berterima kasih pada hari-hari kemarin bersamamu, karena dari situlah aku menjadi seperti ini (Alias tahu diri!). Tidak mungkin laki-laki seperti aku yang tahu agama sebatas sholat, menikah dengan anak seorang guru ngaji sepertimu.

Mantan kekasih, yang berwajah manis. Jangan kau sesali jika saat ini, pria pilihanmu itu tidak seperti apa yang kau harapkan, sadarilah bahwa setiap manusia itu tidak ada yang sempurna, maka oleh karena itu, berhentilah untuk mencari kesempurnaan pada makhluk yang bernama manusia, karena yang perlu kita lakukan adalah bagaimana caranya kita meramu setiap kekurangan dan perbedaan yang ada pada diri kita dan orang lain menjadi sebuah objek yang bisa menyenangkan untuk kita jalani. Aku rasa kau sudah cukup dewasa untuk bisa memahami itu semua.

Mantan kekasih, yang berwajah manis. Bukan kata penyesalan yang harus kau simpan dihati, tapi pembelajaran dari apa yang terjadi di hari-hari kemarin. Aku akui. Aku alami rasa sakit itu di hati, saat kau berjalan tinggalkan aku pergi. Tapi setelah itu aku baru sadar bahwa melepasmu adalah cinta. Maka aku jadikan hal yang seperti itu menjadi sebuah hal yang biasa-biasa saja dan memang masalah putus cinta karena sebuah perbedaan adalah masalah yang bisa terjadi dikehidupan kita sehari-hari.

Oleh karena kesadaran itu aku menjadi makhluk yang seperti ini adanya: tidak ada kata benci, penyesalan apa lagi dendam dalam hati. Bagiku pilihan adalah hak setiap orang dan keikhlasanku dalam melepasmu adalah bukti adanya cinta di hati dan pikiranku. Sungguh aku bahagia saat melihatmu bahagia dan akan lebih bahagia lagi jika kau bisa kembali lagi padanya, mendayung mimpi-mimpi indahmu bersama dengan kekasih pilihanmu.

Mantan kekasih, yang berwajah manis, maafkan aku, jika hanya sampai disini aku antarkan kau pulang, karena aku tidak punya fungsi lagi untuk selalu setia menemani disepanjang jalanmu. Dua kelok lagi sudah sampai rumahmu. Jangan lihat ke belakang karena tidak ada gunanya lagi buat masa depanmu. Biarkan lampu-lampu jalanan itu yang menemanimu kini. Bagiku, tugasku hanya sampai disini, sampai didepan portal ini. Tidak lebih, tidak juga kurang. Asalkan sudah bisa lihat kau sampai di depan jalan itu! Aku sudah cukup nyaman, untuk aku katakan: Selamat tinggal…” 

Terpersembahkan untuk: (dr. Ranni Putri Herlambang). Semoga semua baik-baik saja...

Menulis untuk seorang teman baik