Sabtu, 31 Oktober 2015

ORANG GILA - Cerpen III : Ari Sucianto Siregar

”Apa untungnya kematian seorang Jenderal bagi saya yang miskin ini?”

***
Di suatu ketika, seorang Jenderal berbintang tiga memberikan perintah kepada seorang Sersan untuk menambah kecepatan laju mobil dinas yang sedang dikendarainya. ”Sersan! Tolong dipercepat lagi, sebab hari ini saya akan ada pertemuan dengan Bapak Presiden” Perintah Sang Jenderal. Yang langsung dijalankan oleh Sersan tersebut. ”Siap Jenderal!” dan lalu mobil dinas Sang Jenderal itu-pun melaju dengan kecepatan tinggi. Menerobos lampu merah yang menyala dan mengabaikan rambu-rambu lalu-lintas di sepanjang jalan yang terpampang jelas.

***
Perkenalkan nama saya ”Kardiyanto Kusnoto” tapi semua orang di kampung saya biasa memanggil saya dengan panggilan ”Kusjek” singkatan kata dari, badan kurus hidung pesek muka jelek! Ah! Perduli amat dengan sebuah julukan, karena yang penting bagi saya adalah hidup senang dan bisa menang. Senang karena hari ini bisa makan dan menang melawan rasa lapar. Oleh karena itulah dalam menjalankan hidup saya selalu saja merasa cukup (cukup memprihatinkan maksud saya!). Meskipun hidup ini sulit, tapi saya tetap bersyukur, karena saya masih bisa berkreasi di atas kebingungan saya dalam mencari rezeki. Saya ini adalah seorang seniman jalanan yang serba-bisa. Bisa buat lagu walaupun tak laku-laku, bisa bikin puisi walaupun tak ada yang mencintai, bisa menari walaupun dianggap orang gila sejati dan bisa lari dalam kecepatan yang sangat tinggi!
”Lari?” tanya seorang Wartawan yang memperkenalkan dirinya dengan nama Kampret, sebuah nama yang membuat saya tertawa di pertemuan pertama.
”Iya! Lari! Sebuah bakat alam yang saya temukan saat saya dikejar Kamtib! Berkali-kali!” jawab saya.
”Oh...” Wartawan yang bernama Kampret itu mengangguk-anggukkan kepala.

***
Pagi ini, saya akan mempersembahkan karya saya, hasil sebuah perenungan saya yang sangat tajam dan begitu panjang. Yaitu sebuah tarian kegelisahan hati yang saya beri judul ”Monyet!”
”Monyet?” wartawan itu kebingungan.
”Iya, monyet mas! Karena hanya satu suku kata itulah yang bisa mewakili keprihatinan saya terhadap manusia-manusia yang lupa akan tugas dan fungsinya sebagai manusia.
”Berlaku untuk semua agama?”
”Bukan agamanya. Tapi semua manusia beragama yang lupa akan ajaran-ajaran agamanya. Agama itukan mengajarkan kebaikan dalam menuju perbaikan bukan kejahatan dan perusakan yang menuju pada kehancuran.”
”Untuk semua Negara?”
”Semua Negara di dunia ini tidak ada yang salah! Negara hanya sebuah objek yang tidak bisa berbuat apa-apa dan bentuknya itu hanya sebuah pilihan. Maju atau tidak, bagus atau jelek sebuah Negara itu tergantung pada si pengurus Negaranya, yaitu, manusia-manusia yang menepatinya”
”Para pejabat, maksud anda?”
”Pejabat itukan kedudukannya. Yang rusak itukan manusianya. Artinya, mau itu Agamawan, Budayawan, Politikus, Guru, Bupati, Petani, Nelayan, Kuli bangunan atau rakyat jelata sekalipun. Kalau hati dan pikirannya busuk, ya busuklah nilai dia sebagai manusia. Bukan kedudukannya yang harus di nilai busuk”
”Kalau koruptor? Pencuri? Pemerkosa? dan lain-lain?”
”Koruptor! Pencuri! Pemerkosa! itukan sifat moral manusianya, bukan kedudukannya. Karena di KTP siapa-pun tidak pernah saya temukan itu tertulis, meskipun manusianya sering keluar-masuk penjara karena kasus tersebut. Nah! Tarian yang saya beri judul ”Monyet!” ini hanya sebatas mengeritik, menegur dan mengingatkan manusianya yang lupa akan jati dirinya sebagai manusia yang sama dimata Tuhan. Yaitu, sama-sama punya tugas dan fungsi menjaga dan menjalankan perintah Tuhan-Nya. Berbuat kebaikan untuk menuju perbaikan di muka bumi ini”
”Kalau begitu saya ucapkan terima-kasih atas waktunya kapada mas? Siapa namanya?...” Wartawan itu ternyata lupa dengan nama saya. Saya geleng-geleng kepala dan lalu saya katakan dengan tegas ”Kardiyanto Kusnoto!”
”Oh... Kusjek!” celetuk Wartawan itu, seperti disengaja.
Tidak lama kemudian tiga orang berseragam medis datang menghampiri kami berdua, tapi Wartawan itu tiba-tiba saja lari ngibrit tanpa henti! Saya bingung! “Ada apa ini?” suasana makin gaduh, pikiran saya makin tidak menentu!
”Tangkap orang gila itu mas!” teriak salah satu orang yang berseragam medis itu, sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah Wartawan itu.
”Apa? Orang gila!” saya terkejut, saya benar-benar tidak menyangka kalau pagi ini saya baru saja di wawancarai oleh orang gila ”Setan! Ngaku Wartawan! Jebolan’ne wong edan! Pantesan namanya Kampret!”
”Ayo! Mas! Bantu saya nangkap orang itu!”
”Pret!!! Tangkap aja sendiri!!!” saya kesal dan lalu pergi meninggalkan tempat itu.

***
Saya menari di perempatan kota, saya curahkan semua kegelisahan saya terhadap manusia-manusia negeri ini yang lupa akan tugas dan fungsinya sebagai manusia, saya tidak mau negeri ini meledak, saya tidak mau negeri ini rusak, saya tidak mau negeri ini tenggelam dalam kebobrokan moral, karena manusia-manusia yang asyik menikmati kata khilaf. Saya terus menari mengikuti suara hati, musik, irama pengukuhan jati diri.

Dalam keasyikan saya menari tiba-tiba orang gila yang bernama Kampret itu datang lagi dan kali ini dia memakai seragam Polisi.
”Berhenti!” teriak keras orang gila itu.
Saya tidak peduli, saya terus menari.
”Woi! Berhenti!” orang gila itu makin keras teriaknya.
Saya tetap menari walaupun sakit hati.
”Kamu ini benar-benar gila! Bodoh! Dan tolol!” orang gila itu memaki saya. Saya berhenti menari. Saya hampiri. Saya tidak terima, dibilang gila, bodoh dan tolol, sama orang gila itu.
”Mau kamu apa!” bentak saya keras.
”Saya mau kamu taati peraturan!” kata orang gila itu sambil bertolak pinggang.
”Peraturan apa? Dasar orang gila!”
”Kamu yang gila! Peraturan dilanggar! Coba lihat itu! Lampu merah! Tanda berhenti, bego!”
”Setan!” kali ini saya benar-benar keki. Saya ambil sendal, saya lempar kena mukanya. Saya tertawa.
Orang gila itu tak mau kalah, dia ambil batu lalu balas melempar. Saya menunduk, batu terhempas ke mobil Jenderal. Mobil Jenderal oleng, nabrak tiang. Orang gila itu ketakutan dia lari tunggang langgang, sembunyi dan lalu menghilang. Saya terdiam melihat Sang Jenderal pingsan. Semua orang berkumpul dan menuduh saya ”Dia orangnya!” saya tak sempat membela, semua orang terlihat garang, tangan saya dipegang dan saya mau dibakar ”Demi Tuhan! Bukan saya pelakunya!” dalam kepanikan, rombongan Polisi datang, saya-pun diamankan.

***
Seumur hidup, saya tidak pernah membayangkan saya akan bernasib sial seperti ini, duduk di kursi pesakitan sebagai seorang terdakwa hanya karena ribut dengan orang gila. Orang gila yang telah membuat hidup saya menjadi gila dalam penjara. Oh! Tuhan apa salah hamba? Kenapa hamba yang ingin menyampaikan kebaikan malah bernasib sial? Hamba sudah miskin dari awal, kenapa juga harus selalu Kau beri cobaan, cobaan dan cobaan!_Tuhan! Saya hanya seorang seniman jalanan yang ingin menyampaikan pesan. Pesan kebaikan, pesan kejujuran, pesan kesadaran dan pesan kehormatan untuk semua manusia supaya kembali kepada kodratnya sebagai manusia yang punya hati dan punya akal. Saya bukan Nabi! Maka jangan Kau beri cobaan seberat ini. Besok siang saya mau disidang tolong hujani saya dengan nikmat keadilan. Amien! (Saya berdoa dalam penjara)

***
Dalam persidangan, saya dibantai habis-habisan. Urat syaraf sadar saya hampir saja rusak, mendengar tuntutan Jaksa yang menurut saya terlalu berlebih-lebihan, yaitu, menginginkan saya untuk dijatuhkan hukuman penjara selama tujuh belas tahun lamanya dengan denda kepada Negara sebesar dua puluh lima juta rupiah, dengan tuntutan melakukan sebuah rencana besar, membunuh seorang Jenderal untuk sebuah kudeta. “Ini tuduhan gila! Saya tidak terima! Sinting kalian semua!” bentak saya, memaki Jaksa. ”Tidak mungkin! Saya punya rencana sebodoh itu! Apa untungnya kematian seorang Jenderal bagi saya. Saya ini hanya seorang seniman jalanan. Saya tidak kenal Jenderal, tidak kenal Kopral, tidak kenal politik, tidak kenal sabotase, tidak kenal kudeta.  Yang saya kenal hanya terminal, mushola, kolong jembatan, pangkalan waria, pangkalan wts, copet, supir, kondektur, buruh pabrik, tukang ojek dan lain sebagainya yang ada di jalanan sana tempat saya mencari makan dan bertahan hidup!” muka saya merah padam. Hati saya panas terbakar. Saya buat onar di persidangan. Hakim mengetuk palu, mencoba mengendalikan keadaan. ”Saudara Kusnoto! Saya harap saudara bisa kendalikan diri dan menghormati jalannya persidangan!”
”Tidak bisa! Sidang apaan ini?! Saya tidak bersalah! Kenapa harus dihukum seberat ini!” teriak saya tidak terima kepada tuntutan Jaksa, yang menurut saya terlalu sembarangan mengajukan tuntutan hukuman kepada saya. ”Setan kalian semua! Kenapa saya yang terbukti tidak bersalah, dituntut hukuman seberat itu! Apa karena saya ini orang miskin?! Jadi seenak dengkul kalian menjatuhkan hukuman! Dimana rasa keadilan kalian sebagai seorang penegak hukum!” saya marah tak terkendali, saya berdiri dan lalu saya tendang kursi. ”Pak Pengacara, tolong saya! Bela saya! Saya tidak bersalah! Saya tidak terima pernyataan Jaksa gila itu!” saya tunjuk muka Jaksa berkali-kali dan lalu Pengacara saya, menghampiri saya dan mencoba menenangkan amarah saya yang sudah membludak tinggi.
”Ok! Ok! Saya pasti bantu bapak! Tapi bapak tenangkan hati dulu, karena percuma bapak marah-marah disini, semua ada jalurnya, semua ada jalannya dan pastinya semua juga ada caranya dalam menyelesaikan sebuah permasalahan, apalagi ini menyangkut ranah hukum, tidak sembarangan dalam menyelesaikannya, ada pasal-pasal dan ayat-ayat yang harus kita pelajari dan taati, tidak main pukul dengan emosi. Jadi saya harap bapak bisa bersabar mengikuti jalannnya sidang ini” pinta Pengacara itu kepada saya.
”Tapi Pak! Jelas-jelas saya tidak bersalah, tapi kenapa saya harus dituntut hukuman seberat itu! Melebihi hukuman dari seorang Koruptor yang sudah jelas-jelas terbukti bersalah menggerogoti uang rakyat Triliunan Rupiah!” bantah saya.
”Saya harap bapak kendalikan diri, jika bapak menginginkan persidangan ini bisa berjalan lancar” pinta Pengacara itu kembali.
”Apa artinya sidang ini bisa berjalan lancar, kalau saya tidak dapatkan keadilan!”
”Nanti ada waktunya bapak melakukan pembelaan, inikan hanya sebatas tuntutan Jaksa sementara yang nantinya bisa kita bantah bersama, kalau memang benar-benar bapak terbukti tidak bersalah, bapak bisa terbebas dari semua tuntutan Jaksa. Tapi kalau bapak masih bersikap seperti ini. Ini malah akan memberatkan bapak di mata hukum. Bapak mengertikan dengan apa yang sudah saya sampaikan tadi?” Pengacara itu memegang pundak saya. ”Tenang Pak, sebagai seorang Pengacara Bapak, saya punya kewajiban penuh untuk membela Bapak, sampai akhirnya Bapak menemukan keadilan di tempat yang terhormat ini” Pengacara itu meyakinkan saya bahwa sidang ini akan saya menangkan. Saya mengangguk-anggukkan kepala. ”Baik Pak, saya mengerti!” Saya ambil kursi yang saya tendang tadi, saya duduk kembali dan saya mencoba menenangkan diri, berharap penuh pada keadilan Negeri ini. Hakim mengetuk palu, beri tanda sidang dibuka kembali, setelah setengah jam berhenti karena insiden tadi.

Setelah Jaksa selesai membacakan tuntutannya. Kini giliran saya, membacakan pembelaan saya dengan sejujur-jujurnya tanpa adanya rekayasa sedikitpun, tidak seperti tuntutan Jaksa yang penuh dengan manipulasi data. Tapi sayang, teramat sayang bagi saya, pembelaan saya mentah di persidangan dan saya harus mejalani hukuman dari sebuah tuduhan perbuatan yang tidak pernah saya lakukan. ”Dari pasal-pasal yang tersebut di atas, serta bukti-bukti dan saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan. Maka kami memutuskan saudara Kardiyanto Kusnoto, dinyatakan bersalah karena dengan sengaja telah melakukan sebuah tindakan yang dapat mengancam keutuhan Negara. Dengan ini, saudara Kardiyanto Kusnoto dijatuhkan hukuman penjara selama tujuh tahun lamanya dan denda yang wajib dibayar kepada Negara sebesar dua puluh lima juta rupiah. Jakarta, 21 Juni 2007, sidang ini resmi kami tutup!” Hakim mengetuk palu. Saya terdampar pada kebingungan. Pengacara saya tidak banyak bicara, dia kemas berkas-berkas pembelaan dan lalu pergi meninggalkan saya sendiri, tanpa sedikitpun kata yang keluar dari mulutnya. Sidang ini ibarat dagelan bagi saya, saya jatuh terinjak-injak dan lalu dicampakkan. ”Makanya jangan jadi orang miskin!” celetuk seorang sipir penjara yang mendampingi saya menuju ruang tahanan. ”Memangnya kenapa kalau saya miskin?” tanya saya kepada sipir penjara itu. Sipir penjara itu sepertinya tidak suka dengan pertanyaan saya, pandangannya sinis dan lalu dia berkata dengan kata-kata yang kasar kepada saya. ”Dasar goblok! Kalau lu orang kaya, lu ga bakalan ditinggal pergi begitu saja sama Pengacara lu!” mendengar pernyataan itu hati saya makin teriris. ”Memangnya apa yang salah dengan orang miskin?” tanya saya kembali. Sipir penjara itu-pun berhenti ”Orang miskin itu bikin susah Negara tau! Dah sana jalan!” Sipir penjara itu mendorong badan saya kuat-kuat yang membuat saya hampir saja terjatuh.

Di sepanjang jalan menuju ruang tahanan, saya tidak berhenti-hentinya menahan tangis, meratapi nasib saya yang begitu bengis. ”Kalau memang orang miskin bikin susah Negara, kenapa Negara malah memperbanyak orang miskin? Dengan kebijakan-kebijakannya yang membuat rakyat makin miskin, makin sengsara, makin tenggelam dalam penderitaan dan mati tanpa harapan?” kini saya enggan dalam berdoa, karena sudah terlajur jatuh dan putus asa! Saya bingung, Tuhan sedang berpihak kepada siapa?

Sebulan kemudian, saya ditemani tim Pengacara dari sebuah LBH (Lembaga Bantuan Hukum) bentukan salah satu Partai Politik baru yang bernama PPRS (Partai Peduli Rakyat Sengsara) mengajukan banding ke pengadilan tinggi, dan dalam persidangan di tingkat pengadilan tinggi, saya terbukti tidak bersalah, karena memang kecelakaan itu bukanlah sebuah rencana kudeta, tapi sebuah kecelakaan biasa yang terjadi diluar dugaan saya, yang mengakibatkan seorang Jenderal berbintang tiga terluka dan akhirnya jatuh pingsan di pinggir jalan. Meskipun saya terbukti tidak bersalah, saya tetap dijatuhkan hukuman enam tahun penjara, lebih ringan dari tuntutan Jaksa sebelumnya. Setahun kemudian PPRS menjadi Partai yang besar, karena mendapatkan simpatisan dan dukungan yang kuat dari rakyat golongan menengah ke bawah yang telah lama kecewa terhadap kinerja Pemerintah yang tidak lagi berpihak kepada nasib rakyat yang sudah dipusingkan dengan banyaknya pengangguran, naiknya biaya pendidikan, BBM dan kebutuhan sembilan bahan pokok yang melambung tinggi, ditambah lagi peran aktif PPRS dalam membela kasus saya di pengadilan tinggi, menambah daftar kuat dukungan rakyat kepada PPRS di pemilu yang akan di laksanakan beberapa bulan lagi. ”PPRS PARTAINYA WONG KERE!” begitulah bunyi slogan yang kerap terdengar dan terlihat di media, radio, televisi dan spanduk-spanduk pinggiran jalan yang terpampang dengan sangat jelas.

Tetapi setelah masa pemilu itu usai, nasib saya tidak juga berubah, saya tetap menjadi seorang tahanan politik yang harus terus menjalankan masa hukuman dari sebuah tuduhan yang tidak pernah saya lakukan, bahkan rasa sakit hati saya malah semakin bertambah perih, ketika saya dengan tidak sengaja membaca sebuah surat kabar nasional yang bertuliskan ”PPRS SIAP DUKUNG KAMPRET JADI PRESIDEN!”_Saya tidak pernah habis pikir, kalau orang gila yang membuat saya masuk penjara itu, bisa dicalonkan jadi Presiden dari partai politik yang saya kira tulus dalam memperjuangkan nasib saya.

***

”Begitulah Pak ceritanya kenapa saya tidak tertarik untuk ikut dalam pemilihan Presiden nanti! Bukan karena saya tidak kenal atau anti Demokrasi, tapi karena saya sudah terlalu dalam merasakan yang namanya sakit hati! Biarkanlah Pak, ruang tahanan ini menjadi tempat saya untuk menenangkan hati...”

Menulis. Cikarang, 12 November 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar