Sabtu, 31 Oktober 2015

CATATAN CINTA CALON PERWIRA Cerpen II : Ari Sucianto Siregar

Pada sebuah perjamuan kecil, selepas sholat subuh

Di halaman depan Masjid Agung, Magelang, Jawa Tengah
Januari 1989


***
Sesuatu yang paling menyenangkan bagiku adalah sholat Subuh di Masjid Agung ini, bukan sekedar tempat ibadah, tapi juga tempat tertimbunnya sebuah kenangan.


***
Aku adalah anak seorang buruh tani dari Klaten, Jawa Tengah. Anak ketiga dari enam bersaudara yang kebetulan semuanya laki-laki, dan hanya aku anak laki-laki di keluarga yang tidak bisa membantu Bapak untuk menggarap lahan pertanian milik Pak Lurah, semua saudara-saudaraku termasuk adikku yang paling kecil (Abdul Kadir Jaelani) yang baru berusia 9 tahun, sudah bisa membantu Bapak, meskipun hanya jadi tukang aduk pupuk kandang, tapi setidaknya dia sudah bisa membantu Bapak untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga yang saat itu masih di bawah rata-rata pendapatan per-kapita penduduk Indonesia.


Jujur aku sedih dan malu, karena sebagai anak laki-laki, aku tidak bisa membantu Bapak! Secara fisik, tubuhku normal, bahkan tubuhku tinggi dan besar untuk ukuran anak laki-laki seumuranku, tetapi karena penyakit asma yang aku derita dari lahir begitu parah, membuat aku tidak bisa turun ke ladang untuk membantu Bapak, oleh karena itu dengan sangat terpaksa selepas pulang sekolah, aku membantu Ibu mencuci pakaian dan memasak di dapur, sebuah pekerjaan yang sebenarnya kurang pantas untuk seorang anak laki-laki sepertiku, tapi apa boleh buat, dari pada aku hanya diam di rumah? Lebih baik aku membantu Ibuku, meskipun di hati sangat berat untuk melakukan pekerjaan itu. Karena pekerjaan itu, membuat teman-temanku di Desa memanggilku wandu yang artinya, bencong!

Aku ingin sekali membantu Bapak menggarap sawah, seperti apa yang dilakukan anak-anak laki-laki di Desaku. Dulu aku pernah memaksakan diri turun ke sawah membantu Bapak membuat aliran irigasi yang baru untuk persiapan tanam padi, tapi belum ada setengah jam aku mencangkul, asmaku tiba-tiba kambuh dan aku sangat sulit sekali bernafas, hingga aku harus cepat-cepat dibawa ke rumah Pak Mantri untuk segera ditangani. Saat itu Bapak dan Ibu sangat panik bahkan Pak Mantri-pun jadi ikut-ikutan panik, karena hampir semua orang desa yang berkumpul di rumah Pak Mantri, mengira aku sedang mengalami Sakratul Maut! Dan suasana saat itu benar-benar heboh!


***
Aku mengira penyakit asma yang aku derita ini adalah penyakit kutukan, karena tidak bisa disembuhkan. Di tempatku mengaji, Pak Ustadz pernah bilang, kalau semua penyakit bisa disembuhkan, terkecuali azab!


Ya Allah, apa dosa ku! Saya ini laki-laki! Saya ingin sekali bertani! Bukan masak dan mencuci!


***
Pada suatu ketika Desa ku kedatangan para calon Dokter dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang sedang Praktek Kerja Lapangan selama tiga minggu. Di kesempatan ini aku tidak menyia-nyiakan waktu ku untuk banyak bertanya tentang penyakit yang aku derita selama ini. Dan ternyata penyakit ku termasuk kategori Asma Bronkial, salah satu penyakit kronis dengan pasien terbanyak di dunia, penyakit keturunan yang belum ditemukan obatnya.


Terbersit dalam hati: “Aku ini anak siapa? Karena dalam keluarga ku, hanya aku yang mengidap penyakit ini? Dan ternyata saat itu juga aku baru menyadari kalau golongan darah ku berbeda dengan golongan darah Bapak, Ibu dan saudara-saudara yang lain. Golongan darahku O sedangkan Bapak A dan Ibu B”

Hampir seminggu aku dihantui oleh perasaan tidak menentu, di hantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang akhirnya membuat ku jatuh sakit. Tidak hanya sakit pada raga, tapi juga pada hati! Sampai di kemudian hari, Ibu dan Bapak menceritakan perihal siapa aku yang sesungguhnya. Ternyata aku adalah anak dari teman dekat Bapak yang meninggal karena kecelakaan bus antar kota di Pantura.

Bapak ku (Sudarman Soesilo) seorang supir truk angkut sampah DKI dan Ibu saya (Isnaini Isyah) seorang penjual jamu keliling di wilayah Cipayung.

Kedua orang tua ku dimakamkan di Cipayung, di tempat pemakaman umum di wilayah Jakarta Timur dekat dengan “MARKAS BESAR TENTARA NASIONAL INDONESIA”. Tapi sayang makam kedua orang tua ku sudah menjadi satu dengan makam orang lain, seandainya aku tahu lebih dulu, mungkin aku tidak sesedih ini, berdiri di atas makam kedua orang tua ku yang batu nisannya sudah berganti nama.


***
Aku bangga dengan kedua orang tua angkat ku (Bapak Harjo Abdullah dan Ibu Asminah Sholeha) yang tidak membeda-bedakan aku dengan anak-anaknya yang lain, meskipun aku hanyalah seorang anak angkat, tapi kasih sayang yang mereka berikan kepada ku tetap utuh dengan sepenuh-penuhnya, ikhlas tanpa pamrih. “Sebab cinta tidak boleh hilang dari kesulitan hidup!” kata Bapak yang ingin selalu dianggap sebagai seorang bapak, meskipun aku sudah tahu bahwa aku bukanlah darah-dagingnya.


“Bapak, Ibu, cinta anakmu ini tidak akan hilang sampai kapanpun” jawabku di kelembutan pelukan seorang Bapak dan Ibu yang telah lama mengasuh ku, seperti mengasuh ke empat anak kandungnya sendiri.

***
Aku ingin sekali penyakit asma ku ini sembuh!

Aku harus menemukan obat untuk penyakit asma ku ini!
Aku tidak mau menjadi laki-laki yang terkesan lemah!
Bagaimanapun aku harus tetap sekolah!
Aku ingin jadi Ilmuwan!

Karena hanya dengan sekolah, mimpi ku bisa aku ciptakan!

***
Setelah aku lulus MTs, aku sampaikan keinginan ku kepada Bapak, Ibu dan Mas Fadhillah (Kakakku yang pertama), bahwa aku ingin sekali melanjutkan pendidikan ku ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu SMA. Maklum saja di Desaku kebanyakan anak buruh tani sekolahnya hanya sampai tamatan SD, begitu juga dengan ke dua kakakku, setelah lulus SD mereka langsung sepenuhnya membantu perekonomian keluarga. Maka ketika aku sampaikan keinginanku untuk melanjutkan pendidikanku ke tingkat SMA, Bapak dan Ibu terkesan menolak, alasan mereka bisa baca-tulis dan berhitung saja sudah cukup, ditambah lagi masalah perekonomian keluarga yang sangat bergantung pada lahan pertanian orang lain, kalau hasilnya bagus kita dibayar dan sekeluarga bisa makan, tapi kalau gagal bisa-bisa kita tidak dipakai lagi di musim panen berikutnya. “Yang sekolah sampai tinggi itu hanya anak Lurah, anak Pegawai, anak Guru, anak orang gedean, bukan kita nak’ anak Buruh Tani” kata Bapak setelah selesai bertani.

Aku harus sekolah Pak, bagaimanapun caranya, Rahmat Allah tidak akan berhenti bagi orang-orang yang punya semangat!” jawabku meyakinkan Bapak. Dan akhirnya Bapak-pun setuju.
***


Aku pernah ditertawakan oleh Pak Lurah, ketika aku katakan bahwa aku ingin sekali menjadi seorang ilmuwan saat aku, Bapak dan Ibu datang ke rumah Pak Lurah untuk pinjam uang buat biaya masuk SMA.

“Hahahahahaaaa Ilmuwan? Mimpi kamu!” kata Pak Lurah yang tidak aku masukkan ke hati.
***


Dengan izin Allah SWT, akhirnya aku bisa masuk SMA, meskipun biaya masuknya harus mengorbankan upah Bapak dan Ibu selama sebulan. “Hidup itu tidak hanya untuk mendengar, melihat dan merasakan, tapi juga harus bicara, berfikir dan bertindak!” kataku dalam hati.
***


Di SMA aku kerap sekali dapat ejekan dari teman-teman sekolahku karena penyakit asma yang aku derita, apalagi saat pelajaran olahraga, mereka sama sekali tidak mau dekat-dekat aku, takut bengeknya nular, katanya. Tapi semua itu tidak aku masukkan ke hati, karena bagiku, aku bersekolah untuk menciptakan mimpiku, bukan menampung perkataan-perkataan konyol mereka.

Setiap jam istirahat sebisa mungkin aku gunakan waktu itu untuk belajar, karena setelah pulang sekolah aku harus pergi ke pasar membantu Ibu jualan emping atau cari-cari rumput gajah untuk kujual ke peternak sapi, lumayan uangnya bisa buat bayaran sekolah, karena satu karung rumput dihargai Rp 500,- kalau setiap hari aku bisa kumpulkan uang Rp 500,- sebulan sudah Rp 15.000,- bisa buat bayaran sekolah dan sisanya  kutabung untuk persiapanku kuliah nanti.

Malam harinya aku harus belajar mengaji, kalau ga ngaji, Ibu dan Bapak bisa marah besar! Karena menurut mereka sebanyak apapun ilmu yang kita dapat di sekolah, ilmu agama tetap nomor satu! Ilmu agama itu penyeimbang dan penuntun ilmu dunia. Karena jika kita tidak mengerti agama kita akan dibutakan oleh dunia.
***


Seperti kebanyakan anak remaja pada umumnya, aku-pun pernah merasakan yang namanya jatuh cinta pada masa-masa SMA.

Aku jatuh cinta pada teman terbaikku waktu di SMA. Namanya Ningsih Indah Pratiwi, Ningsih Indah Pratiwi adalah seorang anak pedagang kelontong dari desa tetangga, orangnya manis, cantik, baik hati, pintar dan cerdas. Teman paling mengasyikkan untuk di ajak berdiskusi masalah pelajaran. Hampir setiap hari aku dan Ningsih menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah, untuk mencari data-data tambahan dalam penulisan karya ilmiah tingkat SMA, yang nantinya bisa menjadi jalanku dan Ningsih untuk mendapatkan beasiswa. Beasiswa yang tentunya dapat meringankan beban kedua orang tua kami.

BEASISWA SAYA TURUN TIGA HARI SETELAH KAKAK SAYA (MAS FADHILLAH) MENINGGAL DUNIA AKIBAT TERSAMBAR PETIR WAKTU MENGGARAP SAWAHNYA PAK LURAH, PADAHAL TIGA HARINYA LAGI MAS FADHILLAH MAU MENIKAH DAN TIGA HARINYA SEBELUM MENINGGAL, MAS FADHILLAH BERPESAN KEPADA SAYA SETELAH SHOLAT SUBUH BERJAMA’AH DI MUSHOLA DEKAT RUMAH “Yang namanya laki-laki Jawa itu harus ulet pada pekerjaan, teguh pada pendirian, keras pada pemikiran, tetapi harus tetap bisa menerima pada kenyataan sepahit apa-pun dan santun pada perkataan serta perbuatan”
***


”Semua kejadian saat itu serba tiga hari? Apakah itu sebuah kebetulan? Ataukah sebuah Takdir Tuhan? Seperti kenyataan yang mesti aku terima pada penyakit yang sudah lama kuderita ini? Apapun kesan sedih yang terjadi! Aku harus tetap bersemangat! Air mata bukan penghancur harapan, tapi pendobrak ketidak-mampuan! Hidup itu harus tetap bersemangat! Dan tidak menyerah itu adalah harapan! Jangan menunggu atau mencari keberhasilan! Keberhasilan itu tidak ada yang menghampiri dan tidak ada yang bisa menemukan! Karena keberhasilan hanya bisa kita ciptakan!” kataku yang mencoba untuk tetap tegar.
***

Syukur Alhamdullilah, EBTA - EBTANAS di akhir sekolah sangat memuaskan. Nilai ijazahku di atas rata-rata, yaitu: 98,75 dan NEM ku: 48,75 dari lima mata pelajaran yang diujikan di kelas A1 Fisika. Ningsih menjadi urutan ke-tiga di sekolah dengan nilai rata-rata ijazah: 85,75 dan NEM: 40,00. Satu tingkat di bawah Hendro anak dari seorang guru Matematika di kelas A2 Biologi. Meskipun aku tidak termasuk 10 besar Nasional, tapi nilaiku itu sudah cukup besar dan sangat berarti bagi hidupku. Setidaknya aku bisa membuktikan bahwa anak Buruh Tani itu layak untuk bersekolah! Dan bercita-cita tinggi! Tapi mengapa masih ada saja orang yang tidak percaya pada kemampuan anak seorang Buruh Tani, seperti Pak Lurah misalnya, yang menganggap bahwa hasil Ujian Akhir Sekolahku adalah hasil yang tidak murni, yang di hasilkan dari sebuah kecurangan, yaitu mencontek! Ini sebuah hinaan yang sangat luar biasa bagiku, tapi apa boleh buat? Aku harus tetap bersabar, karena Bapak dan Ibuku penghasilannya berasal dari menggarap sawahnya Pak Lurah dan aku bisa melanjutkan sekolah ke SMA itu-pun karena pinjaman uang dari Pak Lurah “Bagaimanapun pedihnya kata-kata yang menyakitkan hati itu, aku harus selalu tetap bersabar, toh pastinya Allah SWT tahu, siapa yang berhak menjadi pemenangnya, nanti! Karena sabar adalah ciri khas mahluk berakhlak dan pemikir masa depan!” kata hatiku yang mencoba menyemangati.
***


Menjelang pendaftaran SIPENMARU, adikku yang paling kecil (Abdul Kadir Jaelani). Terjangkit penyakit demam berdarah dan harus segera dibawa ke rumah sakit, untuk rawat inap selama 4 minggu. Semua tabungan Bapak, Ibu, Aku dan Mas Rahmat (Kakak ke-duaku) habis tanpa sisa untuk biaya perawatan Kadir di rumah sakit. Itu-pun masih kurang, Bapak dan Ibu terpaksa pinjam uang lagi ke Pak Lurah. Alhamdulillah Pak Lurah tidak hanya meminjamkan uang, tapi juga turut membantu pembiayaan pengobatan Kadir di rumah sakit. Meskipun kadang kata-katanya menyakitkan, tapi Pak Lurah masih tetaplah seorang manusia desa yang punya hati dan rasa empati yang dapat merasakan dan melihat penderitaan orang. Meskipun kadang kesombongan terhadap harta dan kedudukan kerap sekali ia tonjolkan disetiap kata dan penampilannya.

Di Desa, rasa empati dan saling membantu itu akan selalu tetap ada, karena agama, adat dan budaya masih kuat memegang peranan penting dalam sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Itulah istimewanya orang desa dibandingkan dengan orang kota yang individualis.
***


Ningsih kecewa aku tidak ikut SIPENMARU, begitu juga dengan para guru, tapi setelah aku jelaskan apa yang terjadi, mereka-pun mengerti dan ikut membantu biaya pengobatan Kadir di rumah sakit. Alhamdulillah, setelah 4 ½ minggu di rawat rumah sakit, Kadir diperbolehkan pulang ke rumah, tapi dengan satu syarat Kadir tidak lagi diperbolehkan membantu Bapak dan Ibu menggarap sawah, sebab pembuluh darah di lengan kirinya dioperasi karena pecah waktu pertama kali tiba di rumah sakit. Kata dokter: ”Untungnya tiba di rumah sakitnya lebih cepat! Karena kalau tidak? Nyawanya sudah tidak bisa tertolong lagi” semua keluargaku yang mendengar penjelasan Dokter langsung melakukan sujud syukur di rumah sakit.
***


Tujuh bulan kemudian, Mas Rahmat menikah dengan Mba Sulastri (Calon istri almarhum Mas Fadhillah). Secara otomatis tulang punggung untuk membantu perekonomian keluarga dipegang olehku, anak ke-3 dari 6 bersaudara, yang semuanya laki-laki dan harus tetap bersekolah! Aku selalu tanamkan kepada adik-adikku, betapa pentingnya dunia pendidikan, oleh karena itu apapun yang terjadi, sekolah harus tetap berjalan ”Pendidikan itu adalah pemecah segala masalah. Tanpa pendidikan kita adalah daging yang berjalan dan siap untuk membusuk dan mencari ilmu adalah sebuah kegiatan yang sangat mulia dan bahkan Rasul menganjurkan kita untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya, sejauh-jauhnya sampai ke Negeri Cina!” aku tanamkan kata-kata itu ke adik-adikku, supaya mereka tetap bersekolah.
***


Selepas pesta pernikahan Mas Rahmat dan Mba Sulastri, malam harinya, Bapak dan Ibu memanggilku untuk bicara enam mata di dapur, yang saat itu masih dipenuhi piring-piring dan gelas-gelas kotor bekas pesta pernikahan yang belum sempat kucuci. Bapak dan Ibu menyarankanku untuk tetap fokus melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah dan untuk masalah sekolah adik-adikku Bapak dan Ibu yang akan mengurusnya. Bapak dan Ibu ingin sekali aku bisa menjadi contoh buat adik-adikku nanti (Nuryadi Abdullah, Burhan Ibrahim dan Abdul Kadir Jaelani). Kata Bapak: ”Status Sosial kita harus berubah, karena perubahan ke arah yang lebih baik itu, mulia dimata Allah SWT”

Untuk persiapan menghadapi SIPENMARU di tahun depan aku harus lebih banyak lagi belajar dan mengumpulkan uang. Di pertengahan tahun 1985 aku menjadi pelayan Hotel di Kawasan Candi Borobudur, gajinya cukup lumayan, tapi sayang waktu belajarku banyak yang tersita, akhirnya setelah 3 bulan bekerja, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dan berwiraswasta sendiri di sekitar kawasan Masjid Agung Magelang, dengan berjualan buku-buku agama. Hasilnya memang tidak seberapa dan tidak sebanyak waktu menjadi pelayan Hotel, tapi tingkat kepuasanku dalam belajar, terpenuhi! Karena bagiku belajar itu lebih penting! Dari belajar kita bisa temukan apa yang kita inginkan.
***


Sejak aku berjualan buku-buku agama di areal Masjid Agung Magelang, Ningsih kerap sekali menemuiku, hampir setiap hari Sabtu dan Minggu (saat libur kuliah) Ningsih menemuiku, dia selalu memberikan semangat dan dukungan kepadaku untuk tetap fokus pada persiapanku menghadapi SIPENMARU.

Bulan Desember adalah bulan terakhirku menemui Ningsih, saat itu penampilannya sudah sangat berubah 180 derajat! Sebuah perubahan yang sangat total dan cepat di mataku. Ningsih datang menemuiku dengan mengenakan pakaian berjilbab yang sangat panjang dan lebar. Kata-kata terakhirnya yang aku ingat adalah: ”Man, aku tidak bisa lagi menemui kamu, karena tidak pantas seorang muslim yang bukan muhrimnya bertemu, meskipun itu dilakukan di areal Masjid. Ini ada Al-Qur’an untukmu hadiah dariku, sering-sering dibuka ya, jangan lupa dibaca juga bersama artinya” dia memberikanku sebuah Al-Qur’an bersampul perak.

Di sela-sela kata-kata terakhir itu, aku beranikan diri untuk ungkapkan cinta, tapi sayang balasannya hanya Astaghfirullah! Berulang-ulang kali dari bibirnya, dan ”Maaf Man, kata-kata itu adalah berhala! Dan tidak pantas kau ucapkan!” Ningsih-pun pergi dan berlalu tanpa kata selain Astaghfirullah berulang kali dari bibirnya.
***


Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Ningsih dan aku-pun tidak tahu apa-apa? Yang aku tahu hanya detak jantungku yang bertubi-tubi dan suara hati yang harus segera kuucapkan!

DI SEPERTIGA MALAM AKU PANJATKAN DOA KHUSUS UNTUK NINGSIH DAN TANPA DISADARI AKU MENETESKAN AIR MATA DI UCAPAN DOA YANG TERAKHIR. AKU BENAR-BENAR TELAH JATUH HATI KEPADANYA!

Hari-hariku menjadi sangat sepi tanpa Ningsih, tanpa senyumnya, tanpa mata lentiknya dan tanpa lesung pipinya. Mungkin benar kata Ningsih kalau cinta adalah sebuah berhala, tapi kenapa Allah SWT menciptakan itu?_Tak ada satu-pun jawabannya.
***


Aku adalah penentu hidupku! Dan aku harus selalu tetap bersemangat! Tanpa Ningsih dan tanpa sesuatu yang pernah membakar semangat hidupku, yaitu: Cinta!

Akhir Bulan Januari aku bertemu seorang Bapak yang mengaku seorang Guru dari salah satu SMP Negeri di Semarang, yang baru saja menjenguk anak pertamanya yang bersekolah di ”STM NEGERI MAGELANG”. Bapak itu menyarankanku untuk mencoba masuk AKABRI - AD (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia - Angkatan Darat). Awalnya aku ragu karena penyakit asma yang kuderita. Tetapi menjelang beduk subuh setelah aku Shalat Istikharah, tanpa sengaja aku menemukan selembaran brosur tentang AKABRI - AD (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia - Angkatan Darat) di serambi Masjid dan aku anggap itu sebuah jawaban Shalat Istikharahku dari Allah SWT.

Di pertengahan Bulan Februari dengan restu dan doa kedua orang tua, aku mendaftarkan diri untuk masuk AKABRI - AD dan tanpa diduga-duga aku lulus test tanpa terganjal sedikitpun. Bahkan penyakit asma yang kuderita dari kecil tidak terdeteksi sama sekali dan itu artinya aku sehat dan sembuh 100% ! ”SUBHANALLAH! RAHMAT ALLAH MENYERTAI ORANG-ORANG YANG TIDAK MAU MENYERAH!” Tapi sayang Ningsih tidak menyaksikan kebahagiaan ini.

Pada malam harinya setelah aku resmi menjadi Siswa Taruna AKABRI - AD, Pak Lurah dan Bu Lurah beserta ke-tiga anaknya yang semuanya sudah berkeluarga datang ke rumah untuk mengucapkan selamat atas dilantiknya aku menjadi Siswa Taruna AKABRI - AD. ”Maafkan Bapak ya, nak! Selama ini Bapak telah banyak meremehkan kamu. Bapak bangga sama kamu! Kamu orangnya tegar dan tekun! Tidak seperti kebanyakan orang jawa yang mudah nrimo pada kenyataan” Pak Lurah menepuk-nepuk pundakku, tanda kebanggaan dan selamat kepadaku. Memang tidak bisa dipungkiri, biaya untuk pulang-pergi saat aku melamar AKABRI - AD adalah uang yang dipinjamkan Pak Lurah kepadaku lewat perantaraan kedua orang tuaku dan Pak Lurah juga yang tidak pernah bosan-bosannya mengingatkanku untuk selalu melakukan Shalat Hajad dan Tahajud sampai seleksi penyaringan AKABRI - AD selesai, setelah Pak Lurah sadar bahwa aku seorang anak laki-laki yang tidak bisa diremehkan semangatnya. Kini kisah itu sudah 4 tahun berlalu dan tinggal menghitung hari lagi aku menunggu pelantikanku menjadi Perwira Pertama Angkatan Darat berpangkat Letnan Dua di Istana Negara. Tapi di tempat ini, di rumah Allah ini, aku belum juga menemui Ningsih. Aku terus berdoa untuk segera bisa ditemukan oleh Ningsih, seorang gadis manis yang sangat dan amat kucintai.

Sebelumnya aku pernah mencari Ningsih ke kampusnya dengan seragam kebanggaanku sebagai Siswa Taruna AKABRI Angkatan Darat berpangkat Sersan Mayor Taruna, tapi sayang Ningsih belum juga kutemukan, bahkan aku pernah datang kerumah Ningsih, tapi rumah Ningsih sudah kosong dan tidak berpenghuni lagi. Dan informasi yang kudapat dari tetangganya-pun tidak jelas, ada yang mengatakan kalau Ningsih dan keluarganya pindah ke Banjarmasin, tapi ada juga yang mengatakan kalau Ningsih dan keluarganya pindah ke Jakarta.
***


Sampai saat ini-pun Ningsih tidak pernah tahu kalau aku masuk AKABRI - AD (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia - Angkatan Darat). Ingin rasanya memperlihatkan seragam gagah ini kepadanya, seragam kebanggaan para Perwira Angkatan Darat, yang tidak semua orang dapat meraihnya.

”UNTUKMU NINGSIH, AKU MASIH MENUNGGUMU DI SINI, DI MASJID AGUNG YANG ISTIMEWA INI”

Menulis Juli 1998 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar