Sabtu, 31 Oktober 2015

CERITA PAK GOEN - Cerpen IV : Ari Sucianto Siregar

“Berhati-hatilah dengan apa yang kita pikirkan, apalagi yang berhubungan dengan pilihan hidup”  kata Pak Goen kepada para juniornya yang baru enam bulan bekerja.
***

Sabtu siang, tanggal 24 April 2011.
Ir. Desi Handoko Wijaya, seorang General Manager di salah satu Perusahaan Besar di Jakarta dan pemilik majalah mingguan “BIMAKU”. Mengatakan. “Jangan panggil aku Kartini!” dengan intonasi nada yang tegas pada sebuah acara penutupan seminar tentang "Peran Aktif Perempuan Indonesia Dalam Pembangunan" yang diadakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di kota pelajar, Yogyakarta.
***

SEBUAH KILAS BALIK! 

21 Oktober 1990
Pada sebuah Hotel, di pusaran Jakarta.
Semua tamu undangan yang hadir menyambut dengan gembira kedatangan Ir. Desi Handoko Wijaya dengan tepukan tangan yang sangat meriah, bak menyambut datangnya seorang Pahlawan yang menang dalam medan pertempuran.
“Selamat Des, kamu layak disebut Kartini!” Sambut seorang pengusaha yang tiga kali gagal menjadi Bupati.
(Desi tersenyum manis) “Terima kasih Pak, sebutan itu akan selalu saya jaga baik-baik.”
“Hidup Desi! Hidup Desi! Hidup Desi!” Teriak gembira semua tamu undangan.
***

Setelah acara pengangkatannya sebagai General Manager di salah satu Perusahaan Besar di Jakarta. Desi ditemani sahabatnya Nina (yang sudah memiliki tiga orang anak) melanjutkan kegembiraan itu di sebuah Apartemen mewah miliknya, di bilangan Jakarta. “Hari ini! Hari istimewa buatku! Kamu lihatkan Nin?! Tadi semua orang menyambutku dengan gegap-gempita! Meneriak-neriakkan namaku! Dan bertepuk tangan disetiap kata yang aku ucapkan! Aku senang Nin! Aku senang! Ini mimpiku! Ini impianku! Aku bahagiaaaaaaaa!!!” teriak Desi di atas meja makan, pecahkan suasana malam.
”Des! Jangan teriak-teriak ini sudah malam!” tegur Nina.
”Upts! Sorry! Aku terlalu bahagia Nin”
“Sudah, sini, turun!”
“Ok!” Desi-pun turun dari atas meja dengan senyum kegembiraannya yang tidak ada habis-habisnya, seperti seorang anak balita yang mendapatkan hadiah sepeda roda tiga.
“Oh ya Des, dari tadi aku tidak lihat Bima. Kemana dia?” tanya Nina.
”Sudah aku suruh pulang tadi”
”Kapan?”
”Tadi sebelum acara dimulai”
”What?”
“Lho memangnya kenapa?”
“Tega ya kamu, Bima itukan calon suamimu, kenapa kamu suruh pulang. Tidak seharusnya kamu perlakukan Bima seperti itu, itukan hari istimewa kamu”
(Desi terdiam)
”Des, ada yang salah ya, sama Bima?” tanya Nina.
”Tidak!”
”Terus kenapa? Kamu perlakukan Bima seperti itu?”
”Aku merasa saja, kalau saat ini Bima sudah tidak lagi sepadan denganku”
”Maksudmu?”
”Sekarang aku adalah wanita karier, jabatanku adalah General Manager, tempat tinggalku di Apartemen mewah! Aku punya mobil! Aku punya rumah! Aku punya tanah luas! Aku punya usaha percetakan! Dan tidak semua orang bisa seperti aku. Dalam usia cukup muda, 29 tahun, aku sudah punya semua ini. Sedangkan Bima, hanya seorang Wartawan Surat Kabar Lokal, usia sudah 31 tahun tapi hanya punya motor butut! Apa yang harus aku banggakan dari Bima?” (Desi diam sejenak sambil menikmati secangkir kopi yang baru dituangkannya) ”Mau nambah Nin? ” tawar Desi kepada sahabatnya ”Cukup terima kasih...” jawab Nina. Dan lalu Desi melanjutkan ucapannya. ”Aku berharap Nin, suatu saat aku bersanding dengan orang yang sepadan denganku atau kalau perlu yang di atas aku. Aku tidak mau Nin, kebahagiaanku yang selama ini aku cari akan terbuang sia-sia hanya karena aku menikah dengan seorang wartawan surat kabar lokal seperti Bima yang penghasilan perbulannya sangat jauh sekali di bawah ku”
”Kalau begitu, kenapa dulu kamu mau jadi pacarnya?” tanya Nina.
”Karena aku mencintainya”
”Lantas kenapa sekarang berbeda?”
”Karena setelah aku pikir-pikir bukan cinta yang bisa membuat aku bahagia, tapi harta, kedudukan dan karier, dengan itu semua aku bisa menentukan jalan hidupku sendiri, aku bisa memilih dan mendapatkan apa saja yang aku suka. Pastinya semua ini adalah pilihan sadarku”
”Boleh aku bertanya Des?” pinta Nina.
”Silahkan...” jawab Desi sambil menyalakan Televisi 50 inci terbarunya yang seharga 24 juta, di sebuah ruang tamu yang dipenuhi oleh barang-barang impor.
”Kamu pilih yang mana? Orang yang kamu cintai atau karier, kedudukan dan harta?
 (Desi tersenyum!) ”Apa ada yang salah dengan pilihan sadarku?”
”Tidak ada yang salah! Tapi aku ingin tahu alasanmu?”
”Pastinya cinta tidak bisa membeli apa yang aku inginkan, sedangkan karier, kedudukan dan harta bisa membeli semua yang aku inginkan. Kalau aku ingin jalan-jalan ke tempat-tempat terindah di dunia, apakah aku harus membayarnya dengan cinta? Kalau aku mau dihargai dan dihormati oleh semua orang, apakah aku harus membayarnya dengan cinta? Kalau aku mau ini dan itu, apakah aku harus membayarnya juga dengan cinta? Cinta hanya sebatas konsep, bukan alat mencari bahagia!”
(Nina geleng-geleng kepala) ”Sadar Des! Kamu telah dibutakan oleh karier, kedudukan dan harta!”
(Desi tertawa lebar!) ”Lebih baik aku dibutakan oleh itu semua, dari pada aku dibutakan oleh cinta. Aku tidak mau bernasib seperti Khalil Gibran dan Romeo and Juliet yang mati sia-sia dan tidak bisa menikmati hidup seutuhnya karena tergila-gila oleh konsep cinta, sebuah konsep yang banyak menguras airmata karena terlalu banyak mengandalkan perasaan dari pada akal dan logika”
”Berarti perasaanmu kini telah hilang Des?”
”Tepat! Karena perasaan hanya menghambat kita dalam mengambil sebuah keputusan!”
”Berarti suatu saat kamu juga akan menghilangkan aku dari daftar sahabatmu?”
(Desi terdiam dan lalu mematikan Televisinya)
”Nin, aku hanya ingin menciptakan mimpiku bukan menghancurkan persahabatanku”
”Kalau begitu, lupakan semua tentang konsep-konsep gilamu itu dan kembalilah seperti Desi yang dulu, yang aku kenal pemurah dan sangat baik hatinya”
(Desi terdiam untuk jangka waktu yang cukup lama)
”Aku harap, besok pagi kamu akan mengambil sebuah keputusan yang tepat...” Nina-pun berlalu. Tapi Desi tetap bersikukuh dalam hati, bahwa apa yang dipikirannya adalah benar ”Cinta hanyalah sebatas konsep dan bukanlah alat untuk mencari bahagia!” karena tingkat kebahagiaan seseorang hanya bisa diukur dari sebuah nilai kepuasan yang dimilikinya dan nilai kepuasan yang dimilikinya itu menurut Desi adalah mendapatkan karier yang bagus, kedudukan yang terhormat dan harta yang berlimpah. Oleh sebab itu pada pukul tujuh pagi, lewat lima menit, Desi menemui Bima di tempat kostnya, sebelum dia menuju ke tempat kerjanya di Jalan Jenderal Soedirman. Bima sungguh tidak menyangka jika kehadiran kekasihnya yang dikenalnya dari semenjak duduk di bangku kuliah itu, datang hanya untuk memutuskan hubungan yang telah lama mereka bina bersama. ”Tapi apa boleh buat keputusanmu harus ku makan bulat-bulat! Kamu memang sekarang sudah tidak lagi sepadan dengan ku dan aku hormati semua keputusanmu, karena aku sangat tulus mencintaimu. Semoga kamu bahagia dengan apa sedang kamu pikirkan saat ini. Aku ucapkan banyak terimakasih atas segala waktu-waktuku yang tercipta indah saat aku bersamamu” kata Bima di akhir percakapan mereka berdua. Desi terdiam dan lalu pergi meninggalkan Bima, tanpa kata dan pesan terakhir dari mulutnya karena Desi sadar jika dia tidak segera pergi dari Bima, maka perasaan itu akan mengalahkan apa yang dia pikirkan selama ini, yaitu mengejar kariernya yang bagus di masa depan. ”Perasaan hanya menggagalkan kita dalam mengambil sebuah keputusan dan keputusan adalah sebuah pilihan sadar dalam menentukan jalan hidup seseorang” kata Desi dalam hati di setiap langkah-langkahnya yang terpijak pasti. 
Nina yang mengetahui keputusan sahabatnya itu, segera menemui Desi di ruang kerjanya yang mewah.
”Hebat kamu Des, secepat itu kamu mengambil sebuah keputusan!” teguran Nina kepada sahabatnya.
”Aku butuh masa depan yang cerah!” balas Desi sambil merapikan berkas-berkas kerjanya yang akan dibawa meeting nanti siang.
”Kamu siap-siap aja nanti”
”Siap-siap apa?” tanya Desi.
”Siap-siap kehilangan senyuman termanis yang selalu menyambutmu di setiap hari”
”Senyum manis Bima maksudmu?”
”Iya, siapa lagi?”
(Desi tertawa lepas!) ”Semua orang di kantor ini selalu tersenyum manis kepadaku, lalu apa hebatnya senyum manis Bima?”
”Benar Des! Semua orang di kantor ini memang akan selalu terseyum manis kepadamu, karena kamu kini adalah seorang General Manager di kantor ini. Tapi Bima akan selalu tetap tersenyum manis kepadamu, tidak perduli kamu General Manager atau Office Girl, seperti dulu”
”Stop!” pinta Desi.
”Kenapa? Kenapa harus kamu stop kata-kataku, apakah aku ini sudah tidak lagi dianggap sebagai sahabatmu?”
”Bukan itu Nin, maksudku!”
”Lalu apa maksudmu?”
”Aku hanya tidak ingin perasaanku mengalahkan pikiranku, meskipun aku seorang wanita”
”Pikiranmu yang mengatakan bahwa cinta hanyalah sebatas konsep dan bukanlah alat untuk mencari bahagia! Itu maksudmu?”
”Tepat!”
(Nina geleng-gelengkan kepala) ”Kalau memang begitu, berarti kamu telah terlalu jauh tergelincir oleh pikiranmu sendiri, sehingga kamu lupa bahwa selama ini Bima-lah yang selalu membuat kamu tertawa bahagia”
”Maksudmu?”
”Kamu lupa! Bahwa Bima-lah yang selalu setia menemanimu di saat kamu di rawat rumah sakit dan dia jugalah yang selalu bisa membuatmu tertawa lepas di rumah sakit dengan cerita-cerita lucunya”
”Ah! Kalau itu sih, mudah saja bagiku!” kata Desi dengan sombongnya.
”Mudah bagimana maksudmu?”
”Kalau aku di rawat lagi, aku tinggal suruh Yanti Sekretarisku untuk selalu menemaniku di rumah sakit dan Pak Ujang Security yang lucu itu untuk selalu melawak di depanku”
”Ya, setelah itu mereka berdua meminta uang lemburan karena dapat kerja tambahan di rumah sakit”
(Desi terdiam!)
”Kenapa kamu terdiam Des?” tanya Nina yang tidak sabar menunggu jawaban dari mulut sahabatnya itu.
Karena tidak ada balasan kata, Nina-pun melanjutkan pembicaraannya. ”Dan kamu-pun akan kehilangan perhatian spesial dari Bima yang tulus dan tanpa pamrih, karena cintanya kepadamu”
(Desi tersenyum kecut!) ”Perhatian apa? Perhatian, untuk selalu mengingatkan aku untuk tidak lupa sarapan, makan siang, menjemput dan mengantarkan aku pulang, maksudmu?”
”Ya, sedikitnya, seperti itulah...” jawab Nina.
”Aku ini bukan anak kecil yang harus selalu diingatkan makan Nin, dan aku juga bukan Office Girl lagi, karena sekarang aku sudah punya Driver pribadi yang siap setiap saat untuk selalu menemaniku, menjemputku dan mengantarkan aku pulang”
”Kamu memang bukan anak kecil lagi, tapi kamu sering telat makan, bahkan lupa makan karena keasyikan kerja. Sehingga kamu pernah di rawat di rumah sakit karena penyakit typhus. Kalau tidak ada yang mengingatkan kamu, bisa-bisa kamu kena Liver nantinya dan lalu apakah Driver pribadimu itu bisa menjadi teman terbaikmu dalam berdiskusi masalah-masalah pribadimu?”
”Tenang saja Nin, ada Yanti Sekretarisku yang akan mengingatkan aku masalah itu dan untuk teman berdiskusi kan masih ada kamu Nin”
(Nina tersenyum) ”Bagaimana dengan puisi-puisi Bima yang katamu dulu kerap memberikanmu inspirasi dan semangat-semangat baru dalam hidupmu saat kamu terjatuh?”
”Itu dulu Nin, sekarang kalau aku mau aku bisa dapatkan itu semua di Pasar Senin, Toko Agung dan Gramedia, di sana banyak puisi-puisi picisan seperti itu”
”Dan bagaimana dengan aku jika perasaanmu benar-benar hilang? Apakah aku juga akan kamu campakkan seperti Bima?”
Desi terdiam dalam jangka waktu yang cukup lama, Nina tak sabar dan lalu menegurnya ”Des,...” kata-katanya lembut dengan penuh keprihatinan karena sikap sahabatnya itu. ”Ternyata benar perasaanku selama ini, kalau sahabatku yang aku sayangi telah terlalu jauh berubah...”
Desi tetap terdiam, menundukkan kepalanya.
”Jika memang nanti nasibku sama seperti Bima, aku ikhlas Des,...”
Desi tidak menjawab, pikirannya mencoba menahan kuat-kuat perasaannya, dan lalu kata-kata yang di tunggu Nina-pun akhirnya keluar juga dari mulutnya ”Di kantor ini semua orang akan bersaing menjadi yang terbaik, untuk menggapai hidup yang lebih baik, semoga kamu mengerti dengan kata-kataku Nin...”
(Nina mengangguk-anggukkan kepalanya, tanda mengerti dengan apa yang dikatakan oleh sahabatnya itu) ”Semoga kamu temukan bahagia dengan jalan pikiranmu itu...” Kata Nina sambil menyerahkan surat pengunduran dirinya sebagai karyawan di tempat dimana dia meniti karier bersama sahabatnya itu. ”Sejak masih kuliah kita sudah sama-sama bekerja di tempat ini, meniti karier dengan semangat kerja yang sangat luar biasa bagiku, dari menjadi Office Girl sampai menjadi Manager, kita lalui bersama dengan tawa dan canda kita di tempat ini, jujur aku katakan kepadamu Des, bahwa aku sangat bahagia menjalani proses kehidupan itu bersamamu di tempat ini. Tapi sayang, kini semuanya sudah berubah. Dan aku harus mengundurkan diri. Aku mengundurkan diri bukan karena aku takut bersaing denganmu di tempat ini, tapi karena tidak mau menyaksikan masa-masa indah itu hilang di depan mataku, bersama hilangnya si cantik sahabatku yang bernama Ir. Desi Handoko Wijaya seorang gadis desa yang aku kenal sangat baik hatinya”
(Desi berusaha tegar dengan sikapnya, pikirannya melumat habis-habisan perasaan di dalam hatinya dan lalu ditandatanganilah surat pengunduran diri sahabatnya itu) ”Baiklah kalau saudara memang sudah tidak berminat lagi bekerja di Perusahaan ini, saya akan urus semua berkas-berkas pengunduran diri saudara dan saya pribadi mengucapkan banyak terimakasih atas dedikasi saudara selama saudara bekerja di Perusahaan ini” kata Desi dengan bahasa yang tiba-tiba saja formal. Nina terdiam dan benar-benar tidak menyangka dengan sikap sahabatnya itu ”Terima kasih bu Desi!” balas Nina dengan bahasa yang sama-sama formal. 
***

Di sebuah kedai kopi, 24 April 2011. Tiga Wartawan di salah satu Surat Kabar Harian di Jakarta, duduk asyik menikmati indahnya matahari sore, setelah mereka lelah menulis berita tentang seminar yang bertajuk ”Peran Aktif Perempuan Indonesia Dalam Pembangunan” di kota pelajar, Yogyakarta.
”Nah! Seperti itulah ceritanya, kenapa Ir. Desi Handoko Wijaya tidak mau dirinya dipanggil ”Kartini”. Apalagi sampai saat ini di usianya yang sudah 50 tahun, dia belum juga mendapatkan seorang suami” kata Wartawan senior yang akrab disapa Pak Goen.
”Bagaimana dengan Bima, Pak Goen?” tanya Dika seorang wartawan muda yang baru enam bulan bekerja.
”Sekarang Bima sahabatku itu aktif dalam penulisan buku mengenai keluarga dan salah satu karya terbaiknya adalah buku yang baru saja Heru baca tadi.
Heru memperhatikan buku yang ada dalam genggamannya. ”Buku ini, Pak Goen?”
”Iya, dan cover depannya adalah foto anak dan istrinya”
”Kalau nasibnya Nina, gimana Pak Goen?” tanya Dika kembali.
”Kapan-kapan kalian berdua mainlah ke rumahku, di sana kalian akan melihat betapa bahagianya dia hidup bersamaku dengan ketiga orang anak perempuan yang mulai beranjak dewasa”
”Maaf...” 
Pak Goen tersenyum ”Ga pa-pa” dan semuanya-pun berlalu bersama tenggelamnya matahari...

Menulis malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar