Jumat, 06 November 2015

STASIUN KERETA - Cerpen XII : Ari Sucianto Siregar



"Untuk sebuah nama yang selalu ada dalam hidupku..."

Aku menulis ini, dengan satu tetes embun di ujung jemari kayu yang menyimpan sebutir cahaya cantik, dan aku percaya penuh kepadamu, bahwa keyakinanmu adalah kunci keberhasilanku. Aku sangat bersyukur sekali saat aku berjalan sedang tidak sendiri lagi, ada diri kau dan kini dengan manisnya si buah hati yang sangat aku kagumi, di perbatasan antara kota hujan dan masa lalu, aku kenang di sepanjang jalanmu, pada tulisan-tulisan tempat dimana pertama kali aku dan kau menyusun manis cerita tentang sebuah tempat tinggal di bawah pepohonan rindang, yang menembus batas-batas indahnya awan. Saat kau relakan sebagian bahumu untukku bersandar, dari kelelahanku tentang hidup, cinta dan kebingungan. Pada 29 Agustus 2007 yang tidak bisa aku lupakan, karena saat itu hanya kau yang menyelamatkan aku, dari redupnya harapan-harapanku yang tertinggal, di stasiun kereta.

Entah apa jadinya aku? Jika pada stasiun itu aku tidak bertemu lagi dengan kau? Mungkin sampai saat ini aku akan tetap berada disana bersama kegelisahan-kegelisahanku yang menjengkelkan. Di salah satu Stasiun tanpa kereta! Dan tanpa kenyataan yang pasti! Pikiranku sepi menenggelamkan diri, tidak mengenal tujuan, buta pada keinginan. Semua yang aku miliki dari sebuah kata sampai dalamnya rasa menghilang. Hanya ada kau bersama segumpal kertas-kertas kumal di saku jaketku yang setia temani aku punya cerita.

Hidupku mungkin adalah kau, yang datang dengan tiba-tiba membawa cahaya bersama suara, dari sekumpulan kata yang cukup sederhana tapi begitu mengena, sehingga aku yang berpikir sepi tak lagi menenggelamkan diri. Kau membawa aku kepada dunia baru yang serba nyata, tak ada idealisme tapi tak berbohong. Semua serba terbangun dari mimpi-mimpi yang tidak penipu. ”Buat apa memikirkan sesuatu yang menghancurkan? Karena mimpi yang ideal membawamu untuk terbang bukan terjun ke dalam jurang!” katamu yang pastinya akan selalu aku kenang!

Untuk sebuah kesetiaan yang terbangun dari kejujuran hatimu, aku mulai menulis kembali, menghapus segala yang tertinggal, melupakan semua yang terjatuh dan membiarkan semua kegagalan menjadi senjata ampuh melawan ketakutan (yang tanpa sadar, telah aku ciptakan sendiri). Dalam gelap dan di sepi-sepinya hari.

Kadang dalam kesadaranku, aku bertanya kepadamu ”Kenapa tidak dari dulu Tuhan temukan aku dan kau di Stasiun ini? Kenapa baru sekarang, di hari kedua? Setelah aku tidak memiliki apa-apa lagi, hanya segumpal kertas-kertas kumal yang terselip dalam saku jaketku dengan tulisan-tulisan tak beraturan?” Dan kau terdiam pada senyum yang mengasyikkan, seakan-akan kau tahu apa yang sedang Tuhan pikirkan tentang aku yang tidak tahu malu menunggumu di Stasiun ini. Dalam ketidak tahuanku, aku bertanya lagi kepadamu ”Kenapa kau mau menemui aku di Stasiun ini? Padahal belum sepenuhnya kau mengenal aku? Kita baru satu kali bertemu dan itu-pun tidak sengaja? Aku tabrak kau __ aku minta maaf __ aku bantu kau mengambilkan novel-novel kau yang terjatuh karena aku __ aku perkenalkan diri dan lalu kita bicara tentang kereta yang kerap datang telat pada waktunya? Apakah kau tidak takut aku? Pada penampilanku? Pada gondrongnya rambutku? Pada bacaan-bacaan Marxisku? Pada kisah-kisah hidupku dimasa lalu? Dan pada secuil kisah konyol saat dimana aku sempat pacari sahabatmu? Jelasnya kau tahu semua kejelekanku. Tapi kenapa kau masih mau menemui aku disini? Sebenarnya kau ini manusia atau malaikat? Kalau kau manusia tidak mungkin kau mau menemui aku di Stasiun ini? Tapi kalau kau malaikat? Mungkinkah ada malaikat yang mau menemui manusia seperti aku? Jangan-jangan kau ini malaikat maut? Tapi tidak mungkinlah malaikat maut secantik kau! Kalau malaikat mautnya secantik kau, aku mau kau ambil nyawaku sekarang juga, karena aku yakin rasa sakit ketika raga dipisahkan roh, akan terhapus oleh rasa cantiknya di wajahmu!”  kataku yang membuat wajahmu tertunduk malu, dengan secuil tawa yang kau selipkan di senyummu, tak lama kemudian kau-pun angkat bicara. ”Aku akan menjawab mulai dari pertanyaanmu yang pertama!” katamu tegas dan lalu kau lanjutkan kata. ”Aku datang pada saat dimana kau tidak memiliki apa-apa lagi, untuk membuktikan bahwa tidak semua perempuan di dunia ini tergiur oleh banyaknya harta dan tingginya kedudukan seorang laki-laki. Kedua, aku mau menemuimu disini karena kau adalah laki-laki yang jujur, yang mau mengakui kesalahanmu, kebodohanmu,  kelemahanmu dan kekuranganmu, tanpa rasa malu dihadapanku, seorang  perempuan yang biasa dianggap lemah oleh kaummu. Ketiga, aku tidak mungkin takut pada laki-laki yang senang dan disenangi oleh anak-anak kecil yang polos dan tak berdosa. Keempat, kita memiliki kegemaran yang sama, menyenangi tulisan, kereta, dan dinginnya hujan” katamu disela-sela makin terangnya cahaya bersama datang kereta yang tidak pernah diduga-duga kemunculannya di salah satu Stasiun kereta yang sudah hampir 25 tahun lamanya tidak lagi beroperasi. ”Ada kereta?” kataku tak percaya. ”Tidak mungkin ada kereta di Stasiun ini! Stasiun ini, Stasiun tua! Stasiun lama peninggalan Belanda! Tidak mungkin! Tidak mungkin ada kereta! Ini pasti kereta hantu!” __  kupegang tanganmu ”Ayo kita pergi! Lari dari tempat ini! Tempat ini berhantu!”  ku tarik-tarik tanganmu, tapi kau tetap terdiam tak mau ku ajak pergi ”Buat apa kita lari dan pergi dari sini?” katamu kepadaku yang membuatku bingung dengan sikapmu, dan lalu kini giliranmu yang menarik tanganku, mencoba mencegahku untuk pergi ”Lari hanya akan menambah masalah baru dikehidupanmu dan ketakutanmu hanya akan menjadi kutukan di sepanjang hidupmu! Aku jadi semakin kasihan dengan caramu menghadapi sebuah masalah. Lagi pula kenapa kau harus lari dari salah satu benda yang sangat kau gemari. Bukankah kau senang pada kereta?” katamu memecah pikiranku __ lalu kau ajak aku untuk duduk kembali ”Ada apa denganmu? Kenapa kau selalu senang pada kata TAK MUNGKIN! Padahal di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin kalau kita benar-benar mau berusaha dan meyakini dengan sepenuh hati, pada mimpi-mimpi kita sendiri! Apalagi masalah Kereta yang sekarang ada dihadapanmu! Kereta ini adalah mimpi-mimpimu, harapan-harapanmu, dan cita-citamu, yang mengantarkan kau pada tujuan hidupmu, tapi kenapa kau jadikan Kereta ini hantu dalam pikiranmu? Aku tahu kehidupanmu kini telah hancur-berantakan dan serba dengan kekurangan, tapi bukan berarti kau harus tenggelam dalam ketakutan? Seharusnya kau malu pada dirimu sendiri dan tulisan-tulisanmu. Kau ini masih memiliki organ tubuh yang lengkap. Kau punya tangan, kau punya kaki, kau punya akal, kau punya tubuh yang sehat, kau punya penglihatan, kau punya pendengaran, kau punya ini dan itu di tubuhmu, tapi kenapa kau tidak mau fungsikan dengan sebaik mungkin? Malah kau tenggelamkan semua nikmat Tuhanmu itu dalam kesendirian dan kesepian hari-harimu. Aku katakan kepadamu dan ingat kata-kataku baik-baik! Bukan harta dan kedudukan yang bisa membuatmu meraih mimpi! Tapi keyakinan penuh yang ada di dalam hatimu! Dan bukan juga status sosial yang bisa membuatmu dihargai dan dihormati! Tapi keluasan dan ketulusan hati yang ada di dalam dirimu! Jadi buat apa kau lari hindari mimpi? Kalau mimpimu sendiri selalu ada dalam hatimu? Buat apa kau bergaul dengan kesepian? Kalau kesepian itu sendiri tidak pernah ada dalam keinginanmu? Sadarilah kalau di Stasiun ini penuh dengan kenyataan yang pasti! Lihatlah apa yang ada dalam saku jaketmu? Segumpal kertas-kertas kumal dengan sekumpulan tulisan-tulisan yang belum juga kau selesaikan, padahal 2 hari lagi kisah-kisah itu harus segera kau kirimkan. Tepatilah janjimu dan jangan takut kau bermimpi...” katamu disisa-sisa waktu sebelum kau pergi meninggalkan aku __ untuk melegakan hatiku, aku bertanya kepadamu ”Apakah kita akan bertemu lagi Nia?” tanyaku kepadamu yang kau jawab ”Insya Allah pasti! Setelah kau selesaikan semua kisah-kisahmu! Dan kuharap kau tidak lagi merasa sendiri dalam jalani hidupmu karena hidupmu bukan untuk dirimu sendiri!” __ Setelah itu kau-pun pergi meninggalkan aku yang sudah merasa tidak sendiri lagi bersama datangnya hujan yang membawa berkah dan ribuan harapan.

By: Suciyanto Ari Siregar menulis sepenggal kisah untuk anakku ”FATHIMAH! SIREGAR”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar