"Untuk
sebuah nama yang selalu ada dalam hidupku..."
Aku
menulis ini, dengan satu tetes embun di ujung jemari kayu yang menyimpan
sebutir cahaya cantik, dan aku percaya penuh kepadamu, bahwa keyakinanmu adalah
kunci keberhasilanku. Aku sangat bersyukur sekali saat aku berjalan sedang
tidak sendiri lagi, ada diri kau dan kini dengan manisnya si buah hati yang
sangat aku kagumi, di perbatasan antara kota hujan dan masa lalu, aku kenang di
sepanjang jalanmu, pada tulisan-tulisan tempat dimana pertama kali aku dan kau
menyusun manis cerita tentang sebuah tempat tinggal di bawah pepohonan rindang,
yang menembus batas-batas indahnya awan. Saat kau relakan sebagian bahumu
untukku bersandar, dari kelelahanku tentang hidup, cinta dan kebingungan. Pada
29 Agustus 2007 yang tidak bisa aku lupakan, karena saat itu hanya kau yang
menyelamatkan aku, dari redupnya harapan-harapanku yang tertinggal, di stasiun
kereta.
Entah apa
jadinya aku? Jika pada stasiun itu aku tidak bertemu lagi dengan kau? Mungkin
sampai saat ini aku akan tetap berada disana bersama kegelisahan-kegelisahanku
yang menjengkelkan. Di salah satu Stasiun tanpa kereta! Dan tanpa kenyataan
yang pasti! Pikiranku sepi menenggelamkan diri, tidak mengenal tujuan, buta
pada keinginan. Semua yang aku miliki dari sebuah kata sampai dalamnya rasa menghilang.
Hanya ada kau bersama segumpal kertas-kertas kumal di saku jaketku yang setia
temani aku punya cerita.
Hidupku
mungkin adalah kau, yang datang dengan tiba-tiba membawa cahaya bersama suara,
dari sekumpulan kata yang cukup sederhana tapi begitu mengena, sehingga aku
yang berpikir sepi tak lagi menenggelamkan diri. Kau membawa aku kepada dunia
baru yang serba nyata, tak ada idealisme tapi tak berbohong. Semua serba
terbangun dari mimpi-mimpi yang tidak penipu. ”Buat apa memikirkan sesuatu yang
menghancurkan? Karena mimpi yang ideal membawamu untuk terbang bukan terjun ke
dalam jurang!” katamu yang pastinya akan selalu aku kenang!
Untuk
sebuah kesetiaan yang terbangun dari kejujuran hatimu, aku mulai menulis
kembali, menghapus segala yang tertinggal, melupakan semua yang terjatuh dan
membiarkan semua kegagalan menjadi senjata ampuh melawan ketakutan (yang tanpa
sadar, telah aku ciptakan sendiri). Dalam gelap dan di sepi-sepinya hari.
Kadang
dalam kesadaranku, aku bertanya kepadamu ”Kenapa tidak dari dulu Tuhan temukan
aku dan kau di Stasiun ini? Kenapa baru sekarang, di hari kedua? Setelah aku
tidak memiliki apa-apa lagi, hanya segumpal kertas-kertas kumal yang terselip
dalam saku jaketku dengan tulisan-tulisan tak beraturan?” Dan kau terdiam pada
senyum yang mengasyikkan, seakan-akan kau tahu apa yang sedang Tuhan pikirkan
tentang aku yang tidak tahu malu menunggumu di Stasiun ini. Dalam ketidak
tahuanku, aku bertanya lagi kepadamu ”Kenapa kau mau menemui aku di Stasiun
ini? Padahal belum sepenuhnya kau mengenal aku? Kita baru satu kali bertemu dan
itu-pun tidak sengaja? Aku tabrak kau __ aku minta maaf __ aku bantu kau
mengambilkan novel-novel kau yang terjatuh karena aku __ aku perkenalkan diri dan
lalu kita bicara tentang kereta yang kerap datang telat pada waktunya? Apakah
kau tidak takut aku? Pada penampilanku? Pada gondrongnya rambutku? Pada
bacaan-bacaan Marxisku? Pada kisah-kisah hidupku dimasa lalu? Dan pada secuil
kisah konyol saat dimana aku sempat pacari sahabatmu? Jelasnya kau tahu semua
kejelekanku. Tapi kenapa kau masih mau menemui aku disini? Sebenarnya kau ini
manusia atau malaikat? Kalau kau manusia tidak mungkin kau mau menemui aku di
Stasiun ini? Tapi kalau kau malaikat? Mungkinkah ada malaikat yang mau menemui
manusia seperti aku? Jangan-jangan kau ini malaikat maut? Tapi tidak mungkinlah
malaikat maut secantik kau! Kalau malaikat mautnya secantik kau, aku mau kau
ambil nyawaku sekarang juga, karena aku yakin rasa sakit ketika raga dipisahkan
roh, akan terhapus oleh rasa cantiknya di wajahmu!” kataku yang membuat
wajahmu tertunduk malu, dengan secuil tawa yang kau selipkan di senyummu, tak
lama kemudian kau-pun angkat bicara. ”Aku akan menjawab mulai dari pertanyaanmu
yang pertama!” katamu tegas dan lalu kau lanjutkan kata. ”Aku datang pada saat
dimana kau tidak memiliki apa-apa lagi, untuk membuktikan bahwa tidak semua
perempuan di dunia ini tergiur oleh banyaknya harta dan tingginya kedudukan
seorang laki-laki. Kedua, aku mau menemuimu disini karena kau adalah laki-laki
yang jujur, yang mau mengakui kesalahanmu, kebodohanmu, kelemahanmu dan
kekuranganmu, tanpa rasa malu dihadapanku, seorang perempuan yang biasa
dianggap lemah oleh kaummu. Ketiga, aku tidak mungkin takut pada laki-laki yang
senang dan disenangi oleh anak-anak kecil yang polos dan tak berdosa. Keempat,
kita memiliki kegemaran yang sama, menyenangi tulisan, kereta, dan dinginnya
hujan” katamu disela-sela makin terangnya cahaya bersama datang kereta yang
tidak pernah diduga-duga kemunculannya di salah satu Stasiun kereta yang sudah
hampir 25 tahun lamanya tidak lagi beroperasi. ”Ada kereta?” kataku tak
percaya. ”Tidak mungkin ada kereta di Stasiun ini! Stasiun ini, Stasiun tua!
Stasiun lama peninggalan Belanda! Tidak mungkin! Tidak mungkin ada kereta! Ini
pasti kereta hantu!” __ kupegang tanganmu ”Ayo kita pergi! Lari dari
tempat ini! Tempat ini berhantu!” ku tarik-tarik tanganmu, tapi kau tetap
terdiam tak mau ku ajak pergi ”Buat apa kita lari dan pergi dari sini?” katamu
kepadaku yang membuatku bingung dengan sikapmu, dan lalu kini giliranmu yang
menarik tanganku, mencoba mencegahku untuk pergi ”Lari hanya akan menambah
masalah baru dikehidupanmu dan ketakutanmu hanya akan menjadi kutukan di
sepanjang hidupmu! Aku jadi semakin kasihan dengan caramu menghadapi sebuah
masalah. Lagi pula kenapa kau harus lari dari salah satu benda yang sangat kau
gemari. Bukankah kau senang pada kereta?” katamu memecah pikiranku __ lalu kau
ajak aku untuk duduk kembali ”Ada apa denganmu? Kenapa kau selalu senang
pada kata TAK MUNGKIN! Padahal di dunia ini tidak ada yang
tidak mungkin kalau kita benar-benar mau berusaha dan meyakini dengan sepenuh
hati, pada mimpi-mimpi kita sendiri! Apalagi masalah Kereta yang sekarang ada
dihadapanmu! Kereta ini adalah mimpi-mimpimu, harapan-harapanmu, dan
cita-citamu, yang mengantarkan kau pada tujuan hidupmu, tapi kenapa kau jadikan
Kereta ini hantu dalam pikiranmu? Aku tahu kehidupanmu kini telah
hancur-berantakan dan serba dengan kekurangan, tapi bukan berarti kau harus
tenggelam dalam ketakutan? Seharusnya kau malu pada dirimu sendiri dan
tulisan-tulisanmu. Kau ini masih memiliki organ tubuh yang lengkap. Kau punya
tangan, kau punya kaki, kau punya akal, kau punya tubuh yang sehat, kau punya
penglihatan, kau punya pendengaran, kau punya ini dan itu di tubuhmu, tapi
kenapa kau tidak mau fungsikan dengan sebaik mungkin? Malah kau tenggelamkan
semua nikmat Tuhanmu itu dalam kesendirian dan kesepian hari-harimu. Aku
katakan kepadamu dan ingat kata-kataku baik-baik! Bukan harta dan kedudukan
yang bisa membuatmu meraih mimpi! Tapi keyakinan penuh yang ada di dalam
hatimu! Dan bukan juga status sosial yang bisa membuatmu dihargai dan
dihormati! Tapi keluasan dan ketulusan hati yang ada di dalam dirimu! Jadi buat
apa kau lari hindari mimpi? Kalau mimpimu sendiri selalu ada dalam hatimu? Buat
apa kau bergaul dengan kesepian? Kalau kesepian itu sendiri tidak pernah ada
dalam keinginanmu? Sadarilah kalau di Stasiun ini penuh dengan kenyataan yang pasti!
Lihatlah apa yang ada dalam saku jaketmu? Segumpal kertas-kertas kumal
dengan sekumpulan tulisan-tulisan yang belum juga kau selesaikan, padahal 2
hari lagi kisah-kisah itu harus segera kau kirimkan. Tepatilah janjimu dan
jangan takut kau bermimpi...” katamu disisa-sisa waktu sebelum kau pergi
meninggalkan aku __ untuk melegakan hatiku, aku bertanya kepadamu ”Apakah kita
akan bertemu lagi Nia?” tanyaku kepadamu yang kau jawab ”Insya Allah pasti!
Setelah kau selesaikan semua kisah-kisahmu! Dan kuharap kau tidak lagi merasa
sendiri dalam jalani hidupmu karena hidupmu bukan untuk dirimu sendiri!” __
Setelah itu kau-pun pergi meninggalkan aku yang sudah merasa tidak sendiri lagi
bersama datangnya hujan yang membawa berkah dan ribuan harapan.
By: Suciyanto Ari Siregar menulis sepenggal kisah untuk anakku ”FATHIMAH! SIREGAR”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar